Selasa, 27 November 2012

Pengaruh Beban pada Sebuah Gaya


Kubiarkan sinar matahari menyapaku ramah. Meski sambutan yang diterimanya hanya sebuah anggukan kecil dan seulas senyum yang di paksakan. Apa yang ada di atas punggungku memberikan efek sangat besar bagi semangatku. Beban berat memaksaku untuk seperti itu. Jika dalam teori Newton gaya yang diberikan berbanding lurus dengan beban yang ada, kusalahkan teori itu hari ini. hanya hari ini. Saat aku merasa gaya yang ku berikan selama ini hanya akan menghasilkan 0. Sia-sia. Saat aku merasa lelah dan membiarkan air mataku jatuh begitu saja. Saat aku merasa sudah tak ada lagi gaya yang dapat ku berikan untuk menopang bebanku sendirian.
Entah dan entah mengapa aku menjadi mental pecundang seperti ini, yang ku inginkan sekarang hanya membenamkan semua beban punggungku ke atas bantal, menumpahkan seluruh isinya, kemudian aku dapat berjalan tegak seperti dulu.
Tuhan, maaf jika kali ini lagi-lagi aku mengeluh. Aku lelah, Tuhan. Mengapa harus seperti ini? mengapa aku harus berpura-pura bahagia di depan semua temanku? Selama ini, aku mencoba terlihat baik-baik saja seolah tak terjadi apa-apa, tapi sekarang aku sudah tak kuat menopang beban ini sendirian Tuhan. Aku butuh penopang lain, selain hatiku. Aku lelah. Sangat lelah... Tuhan, jika memang aku tak bisa meminta peringanan untuk bebanku, beri aku sedikit kekuatan lagi Tuhan. Sebentar lagi. melalui apapun. Lewat pagi, mentari, hujan, senja, bahkan kata. Apapun. Asalkan aku dapat memberikan gaya yang seimbang dengan bebanku ini.sehingga –paling tidak, aku dapat tersenyum pada semua temanku dan berkata bahwa aku baik-baik saja. Hanya itu Tuhan....
Kemudian bel berbunyi, tanda plesment test akan segera dimulai.....


Sabtu, 24-11-2012
07:07, di duabelas ipa5

Sabtu, 24 November 2012

Hujan, Senja, dan Jendela


Hujan tak juga reda. Di sampingnya, jendela membiarkan setiap buliran air yang jatuh ke tubuhnya begitu saja. Sesekali –dari balik jendela, ku dengar mereka berdebat. Mencoba menyatukan pendapat.
“sejak kapan cinta ada?” tanya hujan, mengeraskan suaranya.
“sejak jejakmu hinggap pada setiap harap di mataku.”
Hujan tertawa. “klise. Sudah terlalu biasa aku mendengar alasan itu. Lagipula, bukankah setelah aku tiada, senja akan datang memberikan jingganya?”
“tapi jejakmu tetap berada di sana. Membekas, tak terlepas.” Sahut jendela, ia mengusap titik-titik air yang sekarang sudah membasahi seluruh tubuhnya, memberikan sedikitruang –kemudian dirinya menghela nafas,“karena cinta adalah cahaya yang membuatmu ada.” Lanjutnya. Tersenyum.
            Kemudian hujan hilang, sejenak setelah senja datang.

Kamis, 15 November 2012

RASA INI

 Untuk seseorang disana, siapa saja.

 
Namun salahkah aku, bila ku pendam rasa ini?

Selasa malam. Seharusnya sekarang aku memfokuskan diriku pada ulangan Kimia besok. Tentang bagaimana mengubah entalpi reaktan menjadi entalpi produk. Atau tentang bagaimana menghapalkan berbagai rumus perubahan energi yang menggunung itu. Atau apapun –yang seharusnya ku pikirkan sekarang. Bukan memikirkan pesan singkatmu tadi.
            Entah dan entah, semuanya terjadi begitu saja. Ia hanya berkelebat –kemudian berdebat tentang apa yang harus ku perbuat. Aku kira perasaanku ini hanya sekedar kekaguman terhadap bakatmu saja, tapi ternyata aku salah. Perasaanku terlalu dalam, hingga menimbulkan air mata yang jatuh diam-diam.
            Aku tak mengerti, mengapa ini bisa terjadi. Aku bahkan tak menyangka bagaimana kau bisa bermuka dua. Pantas saja, kemarin aku melihat matamu berbicara bahwa kau sedang lelah. Lalu tadi, kau tak menemuiku seperti biasanya. Kau berubah. Dan ini semua karena dia. Dalam waktu yang tak lama.
            Aku kecewa tapi itu tak dapat merubah segala rasa yang ada. Ah, mengapa harus selalu seperti ini? Ketika aku tak pernah merasakan indahnya dicintai dan mencintai. Selalu sakit. Selalu air mata. Selalu dan selalu seperti ini alurnya. Ingin menyalahkan siapa jika sudah seperti ini? Tuhan? Tidak mungkin. Terkadang aku berfikir, sebenarnya Dia sudah memberiku peringatan tapi aku tak mau mendengar. Inikah pembalasan-Nya? Tapi bukankah cinta seperti itu? Mengikuti kata hati. Walaupun harus makan hati sendiri.
            Memangnya, hakikat cinta itu seperti apa? Bahagia? Terluka? Suka? Atau duka? Haruskah jika aku yang merasakan hakikat cinta yang terluka dan tak pernah ada suka? Dulu sebelum menyukaimu –saat aku menyukai orang lain, aku selalu memendam perasaan cemburu. Sekarang ketika sudah menyukaimu aku juga memendam perasaan yang sama.
            Aku tak suka jika kau masih terikat oleh masa lalumu. Aku tau setiap orang memang berhak terhadap masa lalunya. Tapi hidup terus berjalan, kau tau? Dan berjalan itu ke depan, bukan ke belakang. Tak bisakah kau lihat perjuanganku untukmu sekarang? Tak bisakah kau melupakan dia dan coba mencintaiku? Tak bisakah kau membuat aku dan kamu menjadi kita? Sesulit apakah memulai cinta baru bagimu? Aku saja sudah melepaskan masa laluku kemudian mencoba mencintaimu, tapi mengapa kau tak memberi reaksi yang sama?
            Cinta tak memaksa. Ya aku tau itu. Tapi sampai kapan? Haruskah aku pergi dahulu dari hidupmu, kemudian kau baru menyadari keberadaanku? Terlalu banyak pertanyaanku sampai-sampai tak ada yang bisa kau jawab.
            Mendekatlah. Coba hargai keberadaanku. Tak ingatkah kau dulu bagaimana masa lalumu menyakiti hatimu? Mengapa masih terus kau perjuangkan? Lebih baik melihatku lalu menjalani cinta baru, bukan? Aku tak pernah berjanji untuk menghapus lukamu. Tapi yang ku tau, aku akan menutupi lukamu dengan caraku sendiri. Membuatmu bahagia. Selamanya.

Selasa, 13 Nopember 2012
20:17



Rabu, 07 November 2012

YOGYAKARTA!

And there you can found a beautiful city;)

HELLO! WELCOME TO YOGYAKARTA!

            Yogyakarta is the most popular city in Indonesia with all of old notes, tourist destination, or typical food. This city is situated in the south central part of Java, with 3.185,80 km2
             Yogyakarta is located in 7,15o – 8,15o south latitude and a line 110,5o – 110,4o east longitude; with boundaries, the west is Purworejo, northwestrn is Magelang regency, northeastern is Klaten regency, eastrn of Wonogiri, and south of Indonesian Ocean.
             In Yogyakarta history, the named of Yogyakarta it self has been changed several times. First, in the Majapahit’s Kingdom it was named Mdang Bhuwi Mataram. Next, in Majapahit’s Empire changed Bhre Mataram. Last, in year 1945, Bhre Mataram changed Yogyakarta and become the capital of Indonesia.
            Yogyakarta has many tourist destinations, such as Shopping Centres like Malioboro’s Street, Sari Park, and Beringharjo’s Market. Many building, like Mataram Kingdom, Prambanan Tample, and Queen Boka Castle. Water touring like Tubing Pindul Cave with mistics story and Sundak Beach.
            This city has two typical foods that popular in Indonesia, it is Gudeg and Yangko. Gudeg is made from young jackfruit boiled for several hours with palm sugar and coconut milk. Yangko is made from sticky rice which has from square with bandage powder, elastic, and sweet taste.

Senin, 05 November 2012

Tuhan Kapan Aku Bahagia?

Ini untuk seseorang yang diluar sana. Siapa saja.


Riska menyeruput teh hijaunya sekali lagi. Pandangannya keluar, tidak benar-benar memperhatikan apa yang ada disana. Pikirannya tak terfokus, kecuali pada persoalan  itu. Satu nama dihatinya. Tanggal unik ditelinganya. Dan kenangan pahit-manis dimatanya. Mereka begitu bercabang, membuat Riska ingin berteriak, menangis, bahkan marah pada waktu yang sama. Andai saja waktu dapat  ia putar, ia lebih memilih untuk tidak menunggu pelangi setelah hujan. Untuk apa berharap jika hanya terbalaskan rasa kecewa? Untuk apa menunggu jika akhirnya hal yang ditunggu pun pupus? Untuk apa Riska melakukan semuanya hanya demi seseorang yang bahkan tak pernah mencoba untuk merawat hatinya? Untuk apa pengorbanannya? Membuahkan hasilkah? Membuatnya bahagiakah? Mungkin saat ini tidak. Dan selamanya akan tetap menjadi tidak.
            “Mau sampai kapan lo kayak gini terus? Diem nunggu kebahagiaan jemput lo. Kebahagiaan itu dicari, bukan ditunggu.” Ara mengampiri, dengan bunga mawar ditangannya.
            Riska tersenyum, pahit. Sahabatnya ini bahkan dapat bangkit setelah jatuh berkali-kali, “lo gak tau apa yang sebenarnya gue rasain Ra.”
            “Gak mungkinlah gue gak ngerasain. Gue sama lo udah dari SMP. Dan lo stuck di persoalan yang sama. Bertahun-tahun. Tanpa terbalaskan.”
Riska menarik nafas, berat.                                                                                                    
“Liat, lo liat mereka yang disana.” Ara menunjuk dua pasang remaja yang sedang berbagi kebahagiaan. Mereka tersenyum bahkan sesekali tertawa lepas saat mendengar salah satunya selesai bercerita. “Mereka gak akan  kayak gitu kalau mereka gak nyiptain kebahagian mereka sendiri, Ris.”
“Gue pernah kayak gitu. Cerita bareng, ketawa bareng, makan bareng, sama Rafa. Gue bahkan bisa lebih bahagia dibanding mereka waktu gue sama Rafa. Gue dulu bahagia.”
“Pernah. Dan itu pun dulu. Sekarang? Gak pernah tuh gue liat lo bahagia.”
“Ya itu karena yang nyiptain kebahagiaan gue pun udah gak ada.”
“Itu karena lo gak mau nyari yang nyiptain kebahagiaan lo lagi. Sampe kapan nyalahin keadaan? Please berhenti liat Rafa yang udah jauh disana. Dia masa lalu lo, Ris. Biarin dia bahagia dengan jalannya. Lo juga harus bahagia karena hidup lo tetep berjalan walaupun gak ada dia.”
“Lo bilang kayak gitu karna lo gak ngerasain apa yang gue rasain Ra! Lo yang harusnya berhenti buat nyuruh gue ini-itu. Semua filsafat lo itu gak berguna tau?! Selamanya gue bakal ngikutin kata hati gue, bukan kata hati lu!” Riska memukul mejanya, kemudian berlari keluar cafe dan meninggalkan Ara sendirian.
Riska terus berlari, menyusuri jalan setapak kota Perth di tengah musim semi. Harusnya ia bahagia tahun ini, menikmati beasiswanya di Universitas Westrn Australia. Beasiswa yang seharusnya menjadi pialanya, tapi bayangan Rafa seolah merebutnya.
Riska menangis diantara langkah  kakinya. Daun Maple yang berguguran seolah ikut menari ditengah air matanya. Harusnya tidak seperti ini, harusnya gue bahagia. kebahagiaan  gue harusnya ada disini. Di Australi. Di Westrn. Rafa, please. Jangan ganggu hidup gue lagi. Kalo lo mau pergi, pergi. Tapi jangan sesekali balik lagi. Lo itu semu, dan gak akan pernah jadi nyata sampai kapanpun. Lo itu abu-abu, dan gak akan pernah jadi pelangi yang warnaiin hidup gue. Pergi, Raf.... jangan taburin garam diatas bekas luka paku yang udahpernah  lu buat. peperangan itu kembali tercipta dihatinya.
“Riska, sampai kapan kamu gak lihat sekitar dan terus lihat aku?” suara Rafa tiba-tiba bergeming, tapi Riska tak peduli. Ia terus berlari, tanpa suara, tanpa arah.
“Riska, berhenti mencariku. Aku tau dulu kita bahagia, tapi  itu waktu aku masih ada. Cari kebahagiaanmu lagi Ris, bersama orang lain. Jangan siksa dirimu seperti ini terus dengan bayanganku yang tak dapat kamu  raih lagi.”
Riska berhenti. Ia membalikkan badannya, dan  menatap sosok Rafa dengan pilu. Sebuah senyum kekecewaan tersungging dibibir mungilnya, “Kamu gak tau rasanya ditinggalin Raf...”
“Aku tau. Dan aku gak akan ngelakuin ini kalo bukan Tuhan yang nyuruh. Berhenti cari kesempurnaan Ris. Berhenti salahin keadaan. Jadilah dewasa.”
“Inikah yang namanya dewasa Raf? Ketika semuanya harus dibalas dengan air mata? Kamu pergi waktu aku udah nyangka kalo Tuhan bakal nepatin janji-Nya buat ngasih pelangi setelah hujan. Kamu pergi waktu aku udah naruh banyak harapan sama kamu. Dan itu sakit Raf...”
Rafa tersenyum, berjalan mendekati Riska, “Riska, Tuhan gak mungkin ngingkarin janji-Nya. Ketika satu pintu tertutup, maka pintu lain akan terbuka. Namun terkadang, kita terlalu lama menyesali pintu yang tertutup itu sehingga tidak melihat pintu lain yang terbuka.”
“Kamu bisa bilang kayak gitu karna kamu gak tau rasanya dikecewakan setelah kita naruh harapan banyak kepada seseorang Raf. Yang kamu tau cuma, disaat orang udah percaya sama kamu, kamu justru balikin badan kamu lalu pergi. Gak peduli apa yang udah terjadi sebelumnya.”
“Riska....”
“Apa?! Sandiwarakah selama ini Raf? Haruskah akhirnya kyk gini Raf?! Kenapa kamu justru balik lagi waktu aku udah nemuin kebahagiaanku? Kalo kamu mau pergi, yaudah sana! Tapi jangan pernah balik lagi waktu aku udah nemuin kebahagiaanku tanpa kamu!”
“Gak ada yang sandiwara! Aku gak pernah salahin apa yang udah terjadi sama kita waktu itu. Aku bahagia waktu aku sama kamu. Kamu kira aku mau ninggalin kamu?!” Rafa menunduk, ia bahkan tak mengerti mengapa ketika ia ingin memberikan warna pada seseorang yang disayangnya ini, Tuhan justru mengganti skenario hidupnya.
“Aku gak pernah datang ke kehidupanmu lagi, kok. Kamu yang mengundangku bukan? Kamu sendiri yang menyeret dirimu kedalam bayanganku. Sampe kapan Ris? Kita udah beda dunia, tapi kamu tetep maksa buat terus sama aku. Sampe kapan kayak gini?! Aku bakal pergi asalkan kamu iziinin aku tenang disana Ris...”
Riska menatapnya diiringi air mata yang semakin deras. Beberapa orang mengamati mengapa Riska berbicara sendirian sambil menangis. Ara yang melihat sahabatnya seperti itu dari kejauhan, hanya bisa terdiam dan membiarkan air matanya ikut terjatuh.
“Tapi kenapa kamu pergi Rafa.... Gak cintakah kamu sama aku?”                                        
“Aku cinta kamu. Tapi, aku lebih cinta Tuhan. Tuhan yang mempertemukan kita Ris, Dia juga yang berhak buat misahin kita.”
“Kenapa harus kita?! Bukannya banyak orang diluar sana yang lebih pantas mendapatkannya?”
“karena Dia tau kalo kita kuat. Riska, cukup. Cari kebahagiaanmu lagi. disini, di Australia. Di Perth. Ini mimpimu bukan? Tanpa aku, Tuhan pasti akan memberikan pelangi itu Riska. Asal kau mau melihat dan mencarinya, bukan hanya menunggu. Berhentilah mengeluh. Dan...oh ya. Jika Tuhan tidak memberikan pelangi itu, percayalah. Akan aku minta yang lebih indah dari pelangi kepada-Nya.”
“Adakah kebahagiaan itu tanpa kamu Raf?”
“Ada. Tuhan sudah mempersiapkannya untukmu. Percayalah. Kamu berhak bahagia ada ataupun gak adanya aku. Lepaskan aku Ris. Dan lihatlah nanti, kau bahkan akan lebih bahagia dari yang kau kira. Sekarang, aku pergi dulu. Aku akan terus menjagamu dari sana. Aku mencintaimu.” Rafa tersenyum, kemudian sosoknya menghilang dari pandangan Riska.
Gadis itu jatuh terduduk, kembali menangis. Kata-kata terakhir Rafa persis seperti apa yang dikatakan Ara tadi. Ada atau tidaknya Rafa, dirinya berhak bahagia, apapun alasannya.
Ara memandang sahabatnya yang sedang tertidur pulas disebuah sofa panjang. Tadi ketika melihat Riska terjatuh, ia segera membawa sahabatnya ke apartemen mereka. Wajahnya lelah, tapi Ara tau akan ada keikhlasan dibaliknya. Ara tau, cepat atau lambat kebahagiaan akan menjeput lagi sahabatnya ini. Ah, kebahagiaan. Pilu sekali jika mendengarnya. Riska tak pernah lagi menemukannya setelah Rafa pergi. Menerima panggilan Tuhan. Ya, dua tahun yang lalu, Rafa meninggal. Kecelakaan menemaninya ketika ia ingin datang ke pesta manis tujuh belas tahunnya Riska. Waktu itu tanggal 18, tepat saat Rafa dan Rifka sudah mempersiapkan semuanya.
Ara tersenyum getir. Ia ingat waktu itu Rafa bahkan sudah memesan kado khusus untuk merayakan tanggal jadiannya. Sweeter putih dengan logo 18 kecil di kantongnya. Ia ingat dulu Rafa selalu menemukan cara bagaimana agar hubungannya dengan Riska baik-baik saja. Riska bisa tertawa, tersenyum, bahkan menangis bahagia ketika bersama Rafa. Dulu. Bersama Rafa. Sekarang, Ara kehilangan sosok sahabatnya yang ceria. Riska lebih sering murung, diam, dan menyendiri. Bahkan tak jarang Ara melihat Riska bicara seorang diri. Bila ditanya, ia selalu menjawab bahwa ada Rafa disana. Riska lebih suka menari bersama kenangan daripada bernyanyi bersama sahabatnya. Riska yang dulunya mempunyai aura warna orange, sekarang berubah menjadi abu. Tenang, tapi misterius.
“Raf...kapan balik lagi? Pergi kok lama banget,” Riska mengigau, Ara melihatnya tapi ia membiarkan sahabatnya itu. “Aku udah 2 tahun lho nunggu kamu balik. Belum seberapa sih sama yang 5 tahun itu. Tapi gimana ya Raf? Walaupun sebentar, kenangannya banyakan kamu. Kamu hebat! Hahahahaha” sekarang Riska tertawa dalam alam bawah sadarnya, sedangkan Ara menangis. Tak tega melihat sahabatnya terus seperti ini. Percayalah, ketika kau membohongi perasaanmu sendiri, itu lebih sakit daripada yang kau kira.
“Hmmm Raf,” Riska melanjutkan, “Apa ya yang aku rasain sekarang? Nangisin kamu aja kyknya aku gak mampu. Mungkin cuma sisa kenangan terindah itu dan kesedihanku. Maaf. Aku masih belum rela kamu pergi gitu aja. Tapi aku janji, seiring dengan berjalannya waktu, aku bakal cari lagi kebahagiaanku. Tanpa kamu. Kamu yang tenang ya disana.” Riska menangis. Ia selalu seperti ini, setelah tertawa, pasti menangis. Makanya, ia selalu beranggapan bahwa kebahagiaan takkan betah jika hidup bersama dirinya.
Beberapa tahun sebelumnya...
            “Ra, kata lo sweeternya bagus gak?” Rafa menunjukkan sweeter yang baru saja ia pesan kepada Ara.
            Yang dipanggil hanya menoleh sekilas, “Bagus Raf. Lo pesen dimana?”
            “Di kak Jamil. Kakak kelas gue waktu SMP. Desainnya gue yang buat loh,”
            Ara bergumam, “Lo mau nembak dia nanti malem?”
            “Iyalah, udah lama banget lagian kan kita deketnya. Kalo gak gue tembak sekarang ntar dia keburu pergi lagi.”
            “Oh. Bagus deh, akhirnya Riska dapet kepastian juga dari lo.” Ara tertawa, ikut merasakan kebahagiaan yang akan dirasakan Riska nanti. Sudah lama memang Rafa-Riska dekat., tapi sampai sekarang belum ada status yang jelas untuk mereka.
            “Hahahahaha. Iyalah Ra, gak mungkin gue terus-terusan ngasih harapan tapi gak ngasih kepastian buat dia. Tapi Ra, pas banget ya? Nama gue sama dia kan dari R terus sekarang tanggal 18 pula. R itu huruf ke 18 kan? Mana sekarang Riska ngerayain hari bahagianya lagi.” Rafa tersenyum, ia bahkan baru sadar kalau semuanya seolah bersambung. Semoga ini awal yang baik untuk menjalani hidupnya bersama Riska.
            Ara diam sejenak, kemudian ia tertawa,“Yayaya. Yaudah, gue pulang dulu ya. Mau ke salon sama Riska. Good luck buat ntar malem. Gue tunggu pajaknya ya,” Ara kemudian berjalan keluar menuju teras rumah Rafa.
            “Siaaaaap!!! Thanks ya Ra.”
            Itu yang terakhir. Malamnya, Ara mendapat telfon bahwa Rafa kecelakaan saat di perjalanan menuju rumah Riska. Motornya ditabrak mobil truk pengangkut barang. Rafa terseret dan mengalami pendarahan besar. Dokter sudah berusaha untuk mendapatkan darah yang sama dengannya dan melakukan pertolongan sebaik mungkin. Tapi, apa daya umur Rafa memang hanya 19 tahun.
Pesta Riska malam itu memang tetap berjalan, tapi dengan pandangan kosong Riska. Ia shock sampai tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya duduk dan sesekali tersenyum pada semua temannya. Ara tau, Riska berusaha untuk tegar, namun tatapannya yang kosong tak dapat memanipulasi Ara.
“Ra...” Riska membuka matanya. Ia tak ingat sudah berapa lama ia tertidur.
“Ya?”
“Tadi gue ketemu Rafa.” Riska menghela nafasnya, tetapi kemudian ia tersenyum. “Maafin gue Ra, harusnya gue sadar selama ini omongan lu bener. Gue gak boleh terus-terusan liat Rafa yang udah milih jalannya sendiri. Gimanapun juga, dia masa lalu gue.”
Ara terenyuh, ia bahkan nyaris meneteskan air matanya kembali. “Ris,” ia mengelus pundak sahabatnya itu, “Gue tau setiap orang berhak atas masa lalunya. Tapi bukan berarti masa lalu terus dibandingin sama masa kini, Ris.”
“Iya. Makasih ya Ra. Sekarang gue sadar, selama ini gue belum dapetin kebahagiaan gue karena gue belum ngerelain Rafa sepenuhnya. Bukannya kalau kita ngerelain sepenuhnya, kita bakal dapet yang lebih baik? Lagian, gak ada ruginya juga kan ngelepasin yang baik demi yang terbaik?”
Ara tak menjawab, ia hanya tersenyum. Kemudian memeluk sahabatnya itu. Tuhan, tolong ini pelukan yang memberikan tanda bahwa Riska akan menemukan kebahagiaannya lagi. Tuhan, beri kekuatan agar ia dapat mengikhlaskan masa lalunya. Dan beri yang terbaik atas perjuangannya. Tuhan, aku hanya ingin melihat sahabatku bahagia dengan jalannya sendiri. Tanpa bayang masa lalunya yang tak dapat ia genggam lagi. Tuhan, untuk yang terakhir. Terima kasih, karena Kau telah mempertemukan kami untuk saling menguatkan satu sama lain. Tuhan, aku sayang Riska. Jaga dia Tuhan. Damaikan hatinya. Dan selamatkan hidupnya. Amin.

Juli, 2012.

Dinding Kenangan


Terkadang, lenganku selalu ingin menembus dinding kenangan itu. Membuka rahasia di setiap celahnya. Air mata mengiringi lentiknya jemariku, dengan kuku-kuku yang mengais pada semua hal manis.

Aku ingat, bagaimana dirimu membangun dinding itu. Bersama segala senyap dalam kukuh-kukuh hatiku yang lindap. Senja itu telah lama kembali di wajahmu, sekejap setelah harap dalam tubuhku mengendap.

Mungkin, waktu sengaja memisahkan kita. Aku melihatnya, saat api jiwamu membakar semua rasa dalam tubuhku. Angin membawa segala yang ku punya –segala kenangan kita.

Aku ingin menjadi asap di balik dinding kenangan itu. Mengudara bersama rasa, kemudian akan kau hirup selamanya. Aku ingin kau tahu bagaimana aku bisa tertawa bahagia; dengan cara yang sederhana.

28-10-2012
21:43  
Sumber : http://kolombloggratis.blogspot.com/2011/03/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2NEfURgcc