Senin, 11 Maret 2013

SUSU COKLAT



SUSU COKLAT
Untuk: Keluarga Cikarang

            Malam semakin larut. Udara dingin kian membalut seorang gadis yang sedang berlutut di hadapan tugas-tugas yang menumpuk. Sesekali, gadis itu menarik nafas berat –mencoba berdamai dengan tugasnya sendiri, namun hasilnya selalu nihil. Tugas-tugas itu terus merayunya untuk tak meninggalkan mereka sampai tuntas. Jadi, gadis itu tak mencoba lagi tuk memberontak.
            Sudah pukul 22:00 hingga akhirnya gadis itu berdiri dari tempat duduknya, beranjak menuju dapur. Untuk menemani tugas-tugasnya, ia menyeduh secangkir susu coklat hangat. Dengan perlahan, gadis itu mengaduknya. Sampai ia berhenti ketika susu sudah bersatu dengan air.
            Gadis itu diam saja disana. Tak melakukan apa-apa. Hanya membiarkan air matanya terjatuh perlahan-lahan. Pandangannya mengarah pada susu coklat yang baru saja ia seduh.
            “Aku kangen kalian,”ucap gadis itu. Lirih dan pelan sekali.
***
            “Bunda, susuku mana?” teriak salah seorang anak laki-laki dari kamarnya.
            “Sudah Bunda taruh di kulkas. Ambil sendiri.” bundanya menjawab.
            “Bude, Revan masih minum susu?” anak perempuan yang duduk di sebelah Bunda, ikut nimbrung.
            Bunda tersenyum, “Ya. Susu coklat dingin. Setiap mau tidur harus minum itu dulu.”
           "Kalau aku gak suka susu,”
     “Heh. Mau gak? Nih, cobain.” Anak laki-laki itu tiba-tiba menyodorkan gelasnya. Agak ogah-ogahan, namun ia bermaksud baik.
            Anak perempuan itu menggeleng.
           "Ini enak. Cobain dululah,”
     Anak perempuan itu agak ragu, sebelum akhirnya ia mengambil gelas yang di pegang saudaranya, “enak.” Sambungnya.
          “Apa ku bilang.” Sahut anak laki-laki itu bangga, dan segera menghabiskan sisa susunya.
          “Bude, aku juga mau. Boleh di bikinin gak?” anak perempuan itu merajuk.
          Bunda mengangguk.
***
            Gadis itu masih berdiri disana. Dengan keheningan yang semakin merengkuh air matanya.
***
       Suasana haru menyelimuti kediaman anak laki-laki itu. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman, anak laki-laki itu terus berdiam diri. Menatap ke depan; padahal tak ada yang di lihatnya. Matanya kosong, hampa, dan penuh rasa kehilangan. Sang anak perempuan duduk disampingnya tanpa mengeluarkan suara apapun.
           "Aku gak nyangka Ayah pergi secepat ini,” tiba-tiba anak laki-laki itu bicara.
         Anak perempuan bergeming. Tak menyahut, karena ia tahu saudaranya ini akan melanjutkan kata-katanya.
     “Aku kira kita bisa lebaran bareng tahun ini. Padahal kemarin Ayah sudah sembuh,” anak laki-laki itu hampir menangis lagi, jika ia tak cepat-cepat menarik nafasnya dan menghapus air matanya.
       "Aku juga, Van. Kita gak pernah tahu apa jalan Tuhan. Mungkin ini yang terbaik,” sahut anak perempuan itu. Lirih dan pelan sekali.
       “Aku gak nyangka kamu sebijak ini, Nad.”
       Anak perempuan itu menoleh ke saudaranya. Yang dilihat hanya tersenyum jahil.
  "Mungkin kita sudah harus belajar mengikhlaskan kepergian seseorang.” Sambung anak perempuan. Tak menggubris ejekan saudaranya.
     “Ya. Gimana kalau sekarang susu coklat?” tawar anak laki-laki itu.
    “Boleh,”
***
  “Van, kamu mau pindah?” tanya anak perempuan ketika mereka sedang mengayuh sepeda menuju mini market di seberang jalan sana.
   Anak laki-laki itu mengangguk, “ke Brebes. Tinggal sama saudara dari Bunda.”
  “Terus nanti aku liburan kemana? Dari Bogor ke Brebes itu jauh,”
  "Kalau lebaran juga kita ketemu,” anak laki-laki itu menjawab santai.
  "Terus ritual susu coklat kita?”
 "Nanti kalau di Eyang kita lanjutin, Nad.”
“Kelamaan,”
“Mungkin sekarang kamu harus belajar mengikhlaskan kepergian seseorang,” anak laki-laki itu menjawab. Pelan dan lirih sekali.
***
            Air mata semakin asyik menari di pipi gadis itu. Sudah pukul 22:30, waktu yang cukup lama untuknya berdiri dan menangis sendiri. Ia segera kembali ke kamar, mengambil handphonenya, dan segera memencet nomor seseorang. Ia melirik tugasnya, membiarkan mereka berteriak agar di sentuh.
              Terdengar nada sambung yang cukup lama. Mungkin seseorang disana sudah terlelap. Tapi gadis itu tak peduli, ia terus menunggu sampai panggilannya terjawab.
              “Halo?” kata seseorang diseberang sana.
           Butuh sepersekian detik untuk gadis itu menarik nafas; memberanikan diri untuk menjawab, “Hai, Van. Sudah tidur?”
            “Tadinya. Ini siapa?” jawab seseorang itu. Ogah-ogahan.
            “Nada. Sorry ganggu,”
            “Nad! Ada apa malem-malem? Tumben nih.” kini, suara di seberang sana terdengar antusias.
            “Gak ada apa-apa sih. Gimana di Brebes?”
            “Gak gimana-gimana. Sama aja kok kayak di Cikarang. Tapi  kadang gue kangen Cikarang,”
            “Gimana dengan susu coklat?” tanya gadis itu langsung.
            “Gue udah gak minum susu, Nad. Lo kenapa sih?”
            “Kalau gue lagi minum susu coklat. Sesekali sih. Makanya gue telpon lo,”
            Terdengar helaan nafas dari seberang sana, “Gue gak nyangka lo semelankolis ini, Nad.”
            “Berhenti ngejek gue, Van.”
          Kemudian terdengar suara terbahak-bahak, “Sorry. Gue juga kangen ritual susu coklat kita. Atau pergi ke mini market sama-sama buat beli kopi gelas. Atau beli gorengan dan orson di depan gang,” suara seseorang itu terdengar lirih.
        Dirasakannya air mata kembali menari pada pipi gadis itu. Kenangan bersama saudaranya dulu terpaksa diputar dalam kaset memori otaknya.
            “Nad, gue gak kenapa-napa kok disini. Gue baik-baik aja,”
            “Tapi gue kangen Cikarang, Van.” Jawab gadis itu sambil terisak.
       “Gue juga. Udahlah, dulu kita udah belajar banyak tentang mengikhlaskan seseorang. Sekarang waktunya belajar buat nerima kenyataan, Nad.”
            “Gak semudah itu,”
            “Gue belum mati, Nad. Kita masih bisa ketemu nanti lebaran. Oke? Udah jangan nangis,”
            Gadis itu mengangguk, menghapus air matanya. “Thanks, Van. Setidaknya kangen gue terobati,”
            “Nah gitu dong. Yap sama-sama,tapi gue boleh minta satu hal?”
            “Silahkan,”
            “Berhenti buat melankolis ya, Nad.”
            “Sialan!!!” gadis itu kini berteriak, tapi kemudian ia tertawa. “Okelah. Bye, Van. Sampai ketemu di rumah Eyang!”
            “Bye, Nad.”
            Telpon ditutup. Gadis itu kembali menuju meja belajar. Di temani susu coklat yang kini sudah dingin, gadis itu kembali berlutut di depan tugas-tugasnya yang menumpuk.

10-03-2013
22:37
dibuat saat mengerjakan tugas; kemudian rindu datang menyergap. Untuk: keluarga tercinta di Cikarang. Alm. Pakde Didi, Bude Ami, Kak Dimas, Revan, dan Ayang. Salam rindu selalu!:')

Sabtu, 09 Maret 2013

SAYA MENYERAH!



           Saya sedang duduk dengan mata yang takterlepas dari fotomu. Kemudian saya tersenyum, memutar ulang kenangan yang telah saya perjuangankan untuk mendapatkan secuil perhatian. Tanpa kamu pernah sadar apa yang telah saya lakukan.
      Sudah lama sekali rasanya saya melakukan ini: tersenyum sendirian ketika mengingat kejadian bersamamu, memotret senyummu diam-diam dan memutar ulang setiap malam, bahkan uring-uringan saat kamu tak pernah datang untuk berbincang dengan saya sebentar.
Atau merasakan ini: merindukan tanpa pernah dirindukan, melukiskan harapan tanpa pernah tahu kapan ada kepastian, sampai menunggu kedatangan seseorang yang takkan pernah datang.Rasanya lelah –tapi saya belum ingin menyerah. Entahlah, mungkin ini cinta dari seseorang yang tak mengerti apa itu cinta.
            Sampai saatnya, saya sadar bahwa kamu hanya menganggap saya teman.
            Hanya untuk hubungan pertemanan.
            Tak lebih.
         Kemudian, ketika suatu hari saya sedang sendirian di dalam kamar, saya memikirkan ini: untuk apa perjuangan yang selama ini saya lakukan jika selalu berbalas pengabaian? Untuk apa saya melukiskan harapan jika dengan mudah kamu mengucapkan kata perpisahan? Jadi...untuk apa saya mengharapkan seseorang yang tak pernah memberikan harapan kepastian?
      Sejak saat itu, saya menyadari satu hal: kamu tak pantas saya perjuangankan. Jika hanya berbalaskan pengabaian dan berakhir hanya dengan pertemanan, saya rasa perjuangan saya percuma. Sebelum saya terlambat, saya akan menghapuskan perasaan dan belajar meninggalkan.
         Mungkin ini gila –menghapus perasaan yang telah berkarat memang tak mudah, tapi saya hanya tak ingin waktu saya terbuang untuk seseorang yang tak pernah menghargai segala perhatian dari seseorang yang memberikan rasa sayang. Menyesalah, Sayang. Saat saya pergi, kamu takkan pernah saya terima lagi bahkan untuk sekedar kembali. Saya sudah lelah. Sudah sangat lelah berjuang sendirian. Dan selalu berakhir pengabaian.
            Selamat tinggal, Perjuangan!:’)

07-03-2013



LANGIT JINGGA & SESEORANG

foto diambil dari tumblr;)


Naila membolak-balikkan buku pelajarannya dengan gemas. Sudah setengah jam yang lalu ia berkutik dengan satu soal ke satu soal yang lain. Mencari dari satu sumber hingga kesatu sumber yang lain. Namun, sudah setengah jam yang lalu juga soalnya belum selesai setengah. Padahal, tugas yang lain masih menunggu untuk di sentuh. Naila di buat frustasi karenanya.
        Jadi, Naila memilih untuk menyerah saja. Ia menutup semua buku pelajarannya, lantas mengambil sebuah novel karangan C.S Lewis –pengarang favoritnya– yang tergeletak dari setengah jam yang lalu. Ini saatnya untuk mengistirahatkan sebentar otak kirinya, dan membiarkan otak kanannya menarik nafas.
     Ketika Naila sedang terbius oleh deretan kata dan masuk dalam dunia fantasinya, seseorang mengguncang bahunya pelan, membuat Naila terpaksabangun dari imajinasinya.
           “Gue mau ngomong sama lu,” kata seseorang itu. Yang tak lain adalah Acha, teman kelas sebelah.
           “Ya ngomong aja. Ada apa?” jawab Naila santai, sambil menutup novelnya.
           “Lu berubah,” kata Acha lagi. singkat, padat, dan sangat jelas.
           Tapi Naila mengerutkan kening. Menuntut penjelasan sampai titik penghabisan.
           “Gue dan yang lain kehilangan diri lu yang dulu, Nai.”
          Naila menarik nafasnya berat. Lagi-lagi masalah yang menurutnya kecil, tapi di besarkan oleh semua temannya. “Terus?” hanya itu respon yang Naila beri, sehingga membuat Acha tak mengerti.
           “Ya gak terus-terus. Kita kangen elu Nai. Sebelum lu sesibuk ini,”
           “Gue pun kangen diri gue yang dulu, Cha. Tapi gue gak bisa ninggalin realitas.” Naila berucap lirih.
           “Gak adakah waktu dari lu buat kita?”
           “Belum, Cha.” Naila membereskan semua bukunya. Memasukkannya ke dalam tas, “maaf, Cha. Gue duluan. Masih harus beresin buku di perpus. Salam buat yang lain.” Ia segera berlalu, meninggalkan Acha yang masih diam disitu.
           Sebenarnya, tak ada buku yang harus di bereskan, Naila hanya menghindar. Ia hanya tak ingin segala masalah yang ada bertambah panjang. Karena terkadang, berlari menghindari memang lebih baik daripada bertarung melawan emosi.
          Naila terduduk lesu di pojokan perpus, tempat favoritnya. Ia kembali mengambil novelnya, mencoba terlarut bersama deretan kata. Namun, lagi-lagi kegiatannya harus terhenti ketika otaknya memutuskan untuk memikirkan masalah yang baru saja di utarakan Acha.
       Acha benar. Ia sudah lama tidak berkumpul dengan teman-temannya. Ini karena kesibukan yang menuntut untuk tak di biarkan. Hampir setiap hari Naila harus belajar sampai jam enam petang, dan di lanjutkan dengan mengerjakan tugas. Selesai mengerjakan tugas, ia segera pergi tidur. Benar-benar tak ada waktu untuk meninggalkan rutinitas. Kalaupun ada waktu luang, Naila menggunakannya untuk beristirahat. Untuk bersenang-senang dengan dunianya dan meninggalkan rutinitas. Jadi wajar, jika teman-temannya juga meminta waktunya.
         Tapi di sisi lain, Naila harus memproitaskan hal mana yang harus dia kerjakan duluan. Dan bermain, selalu di urutan terakhir. Lagipula, sejak semester kemarin Naila sudah tak memikirkan hal-hal yang membuang waktu. Ia lebih memilih untuk mengerjakan rutinitasnya, walaupun terkadang itu membuatnya jenuh. Dan hanya dengan membaca, kejenuhannya terobati.
         Naila tak tahu lagi apa yang telah dan harus ia perbuat, sampai-sampai matanya panas. Kemudian, setetes demi setetes air mata turun bersama kekosongan yang menyergap hatinya.
         “Kenapa?” seseorang menarik kursi di depan Naila. Membuat Naila tersentak sebentar, kemudian menangis lagi.
            “Yaudah nangis aja dulu,” kata seseorang itu lagi sambil membolak-balikkan majalah di tangannya.
        Setelah beberapa saat, Naila menyurutkan air matanya. Seseorang itu masih disana, tenggelam bersama majalah yang sedang di bacanya. Tak menuntut Naila untuk bercerita, hanya menemaninya saja disana. Dalam diam.
        “Sudah, Kak.” Naila membuka pembicaraan.
        “Sudah siap cerita?” seseorang itu berkata sambil menyerahkan sapu tangan miliknya.
     Naila tersenyum dan mengambil sapu tangan yang di berikan. Seseorang di depannya ini selalu tahu bagaimana membuat hatinya tenang. “Aku cape, Kak.” kata Naila lirih.
        “Sudah kuduga. Apalagi kali ini? Tentang orang rumah lagi?”
        Naila menggeleng.
        “Lalu?”
       “Teman-teman. Mereka bilang aku berubah. Mereka bilang aku gak punya waktu lagi buat mereka. Tapi aku kayak gini kan karna ada alasannya,” Naila menarik nafas sebentar takut ia menangis lagi.
          “Terus yang buat kamu nangis itu apa?”
       “Aku gak tahu kali ini siapa yang salah. Aku yang terlalu sibuk atau mereka yang gak mau ngerti. Entahlah,” lanjut Naila lagi.
          “Namanya juga cewek, suka labil sendiri sama masalahnya. Sudahlah, tak usah terlalu dipikirkan,” kata seseorang itu sambil mengangkat bahu.
          Naila melotot. Namanya juga cowok, selalu saja menanggap enteng setiap masalahnya. Umpat Naila dalam hati.
          “Ada saatnya dimana kamu harus ngalah sama rutinitas kamu, Nai.” Seseorang itu melanjutkan, seolah bisa membaca apa yang di pikirkan Naila.
          “Gak bisa, Kak. Gak semudah itu.”
         “Berhentilah mengeluh. Coba sedikit demi sedikit. Aku tahu kamu sibuk dengan segala rutinitasmu itu, tapi teman-temanmu juga kangen kamu, Nai. Emang kamu gak kangen mereka?” seseorang itu menutup majalahnya, melipat tangannya di atas meja, dan memerhatikan Naila lekat-lekat.
        “Aku gak tahu. Rutinitas ini buat aku lupa segalanya, Kak. Kalaupun ada waktu luang, aku pengen melakukan hobiku yang sempat aku abaikan. Mengertilah, Kak.”
        “Debat sama kamu emang gak pernah ada ujungnya, Nai.” Seseorang itu menarik nafas. Kemudian berdiri, mengulurkan sebelah tangannya yang disambut lagi oleh Naila.
          “Mau kemana?” tanya Naila.
          “Ke tempat favorit kita,” jawab seseorang itu.
***
          Langit sudah berganti warna dengan cahaya jingga yang membias kesana-sini. Naila menatap altar luas di atas sana, sambil sesekali tersenyum.
          “Bilang apa?” seseorang itu membuat Naila menoleh sambil mengerutkan kening.
          “Apanya?” kata Naila.
       “Setidaknya disini kamu melupakan sebentar masalahmu, kan?” kata seseorang itu lagi sambil tersenyum, menatap mata Naila lagi.
       Naila ikut tersenyum. Seseorang ini benar, disini ia temukan kedamaian. Meninggalkan segala rutinitasnya, masalahnya, bahkan hobinya hanya untuk menghitung detik-detik langit berganti warna menjadi jingga, kemudian menjadi gelap begitu saja. Naila temukan dunianya disini. Bersama seseorang yang tak pernah memberikan solusi untuknya, tapi terus memberikan ketenangan untuk hatinya. Singkat, Naila jatuh cinta dengan....semuanya.
             “Makasih, Kak.” Kata Naila yang kemudian menggenggam tangan seseorang itu.
           “Ya, Nai. Sama-sama. Sudah ya, jangan dipikirkan. Setiap masalah pasti ada jalan keluar,” jawab seseorang itu dengan balas menggenggam tangan Naila.
            Lalu mereka melanjutkan menghitung detik-detik langit berganti warna menjadi jingga, dan menjadi gelap begitu saja.

Jum'at, 08-03-2013
23:22
Sumber : http://kolombloggratis.blogspot.com/2011/03/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2NEfURgcc