Selasa, 14 Mei 2013

Kita berbeda:')

Saya sedang menari dengan soal matematika ketika kamu datang dengan menggebu-gebu. Terdapat sebuah amplop di tanganmu, dengan mata yang tak sempat saya baca apa artinya, kamu memeluk saya.
"Gue menang!!! Ini surat dari panitia. Dan gue berhak ikut ke babak selanjutnya!!!" katamu sambil memeluk saya begitu dekap sehingga sulit sekali rasanya untuk saya bernafas.
"Lepasin gue dulu!" saya memohon. Kalau tidak, saya akan mati sekarang juga.
Kemudian kamu melepaskan pelukan, "selamat ya. Lo emang pantes dapetin semuanya," lanjut saya. Kamu mengangguk sambil terus tersenyum, memancarkan aura bahagia yang -tanpa pernah kamu tahu- membuat saya terluka.
"Makasiiiiih untuk semua semangatnya, Sya." sahutmu.
Saya mengangguk dan duduk: kembali mengerjakan soal matematika.
Tak ada pembicaraan lebih lanjut setelah itu, kamu hanya duduk di hadapan saya sambil membaca sebuah majalah sastra. Sampai keheningan sudah terlalu lama membekap kita, kamu bicara: "Olimpiade kemarin gimana?"
Saya mendongak. Menatap lurus ke arahmu. Sebenarnya, saya tak ingin membahas; jika bukan kamu yang menyuruh.
"Belum menang," suara saya terdengar parau.
Kamu terlihat bersalah; saya melihatnya dari matamu. Tapi kemudian kamu tersenyum, "semangat terus!" katamu sambil mengepalkan tangan di udara.
Saya lagi-lagi hanya mengangguk. Jika kamu mendengar hati saya, mungkin lebih baik jika tadi kamu tidak menceritakan kebahagiaanmu itu. Bukan, bukan berarti saya tidak ikut bahagia -saya hanya belum menerima mengapa kemenangan seperti enggan untuk menghampiri hidup saya. Walaupun hanya sebentar.
Katanya, Tuhan selalu menyelipkan kelebihan pada setiap insan. Tapi mana bagian saya? Saya tidak pernah menemukan kelebihan saya pada bidang apapun. Saya tidak pernah membuat orang-orang bahagia dengan kelebihan yang saya miliki. Saya tidak pernah seperti kamu: sahabat saya yang selalu di naungi kemenangan.
Saya hampir menangis jika saja saya bukan wanita. Wanita selalu menyembunyikan air matanya bukan?
"Gue traktir yuk. Lo mau kemana?" tiba-tiba kamu menutup semua buku saya; seperti bisa membaca apa yang sedang saya pikirkan.
"Gak usah. Keperluan lo masih banyak," saya menolak halus dengan kembali membuka buku.
"Ah traktir lo gak akan buat gue bangkrut. Hitung-hitung bayar semangat yang selalu lo kasih cuma-cuma itu. Oke? Yuk!" tanpa meminta persetujuan saya kali ini, kamu segera memasukkan semua buku saya ke dalam tas, dan menggendongnya di punggungmu. Dalam hati saya mengumpat, mengapa punya sahabat yang hatinya keras seperti batu. Tapi, saya selalu selipkan kebahagiaan di balik umpatan.
Sambil terus bergandengan erat, saya tersenyum. Sadar bahwa setidaknya meskipun Tuhan belum menunjukkan kelebihan saya, saya punya kamu sebagai penutup kekurangan saya. Terima kasih.

3 Mei 2012 - 21:02

Minggu, 05 Mei 2013

GOOD (space) BYE


GOOD BYE
I still like you, I’m just tired of trying

            Besok hari senin. Bagi setiap siswa, Senin merupakan hari pertama dimana kesibukan kembali dimulai karena libur telah usai. Dan seharusnya sekarang aku sedang dalam keadaan memegang buku pelajaran biologi untuk bahan besok persentasi. Tapi, bayanganmu selalu saja menghampiri dan tak pernah berhenti mengisi semua sel dalam otak depanku.
            Masih dengan subjek, objek, dan keterangan yang sama. Aku yang hampir setiap malam tersiksa karena tak bisa memilikimu. Ini sudah bulan ke tujuh –dalam hitungan kalendarku– aku terus berjuang mendapatkanmu, namun kamu tetap saja seperti itu: tak melihatku.
            Aku tak tahu siapa yang salah jika sudah seperti ini. Aku yang terlalu bodoh karena menunggu seseorang yang bahkan tak menghargai perjuanganku atau kamu yang terlalu buta karena tak bisa melihat mana seseorang yang seharusnya kamu perjuangkan.
            Namanya juga cinta. begitu kata teman-temanku ketika aku menanyakan mengapa hal ini bisa terjadi. Ya, mungkin mereka benar. Mungkin ini cinta. tapi masihkah bisa di sebut cinta jika yang berjuang hanya sendirian?
            Aku tetap menyukaimu, tapi aku telah lelah berjuang. Mengapa harus berjuang jika balasan yang di dapat selalu pengabaian? Mengapa harus berjuang jika hasil yang di dapat tidak pernah sesuai harapan? Mengapa harus berjuang jika hati sudah lelah untuk bertahan?
            Haruskah aku melepasmu? Ketika aku sudah benar-benar lelah untuk berpura-pura seperti ini.
            Jika nanti aku pergi, akankah kamu mencariku dan memintaku kembali? Bukan, ini bukan semacam harapan, ini hanya pertanyaan yang akan kamu temukan jawabannya sekarang. Jika nanti aku sudah pergi dan kamu memintaku kembali, aku tidak akan menuruti. Mungkin kita hanya bisa sekedar dekat, tapi tak sedekat saat aku benar-benar menginginkanmu.
            Aku perempuan. Dan perempuan senang di perjuangkan, bukan memerjuangkan. Selamat tinggal, seseorang yang telah aku perjuangkan namun kamu memberikanku pengabaian:’)

Kamis, 02 Mei 2013

MOSAIK


Oleh :Oan Wutun
Diam-diam, Che merobek selembar kertas dari buku Matematikanya. Diraihnya pensil kayu yang sedari tadi tergeletak diam di atas meja. Pensil itu di putar-putar di sela-sela jarinya. Seperti ada jiwa yang terbangun dari tidur panjang dalam pensil itu, perlahan-lahan namun mengalir, Che mulai menulis pada lembaran kertas tadi. Tulisannya ia awali dengan catatan harian seorang gadis bernama…
Sophie
Tentang hari ini, katamu, untuk satu moment yang hanya terulang sekali setahun, perlu ada perayaan.
Sebenarnya, ingin kukatakan kalau hidup ini terlalu singkat untuk dirayakan, sesingkat pijar lilin di atas kue ulang tahun. Perhatikanlah! Hanya dengan satu hembusan nafas, semuanya selesai. Singkat bukan? Lilin itu padam, di buang ke tempat sampah, hilang, dan tak akan di kenang lagi. Lantas, apa yang mau kita rayakan hari ini? Redup pijar hidupku? Suam-suam kuku kehangatanku? Diam lilin kehidupanku? Leleh jiwaku oleh pijarku sendiri? Apa? Tak ada bukan?
Kau tentu masih ingat kata-katamu sendiri, “….segala sesuatu mengalir dan tak ada yang terulang kembali. Seseorang tidak akan pernah turun dan menginjakkan kaki pada air sama meski ia lakukan pada sungai yang sama. Air sungai yang di sentuh sebelumnya telah berlalu, mengalir jauh ke hulu dan berubah.” Kau masih ingat ‘kan?
Kamu pasti pura-pura lupa.
“Dalam peredaran zaman,” katamu lagi, “hanya perubahanlah yang ada. Tak ada yang tetap dalam hidup ini selain perubahan.”
Aku hanya mengangguk meski tak begitu mengerti.
“Pokoknya hari ini mesti kita rayakan semeriah mungkin,” serumu begitu bersemangat.
“Di mana-mana,” tambahmu lagi, “orang merayakan hari ulang tahun.”
Aku hanya bisa tersenyum melihat dirimu begitu bersemangat merayakan ulang tahunku.
Al… kau sebenarnya tahu kalau waktu selalu mengalir; mengalir dari abadi sampai pada satu batas tanpa patok. Perhitungan detik, jam, hari, bulan, tahun, dan abad hanyalah bukti kelemahan manusia di hadapan sang waktu. Kau, aku, dia dan mereka tak lebih dari satu pijar lilin kecil, jika bukan sebuah titik kecil, di dalam guliran waktu yang abadi.
Tahun tidak berulang kembali Al… apa lagi waktu. Jadi, sebenarnya untuk apa perayaan ini?
Meski demikian, kuharap kau tak bersedih atau marah saat membaca catatan ini. ‘Coz, tonight still be unforgetable night.
Aku hanya ingin sedikit mempertanyakan ini semua. Bolehkan? Thanks untuk semua yang telah kuterima darimu selama ini, khususnya untuk malam ini. Walaupun tak seperti tahun lalu; tak ada biskuit seharga lima ribu rupiah yang kau susun bagai tart kecil; tak ada lilin bekas yang berpijar indah di tengahnya; dan… tak ada ciuman yang membuat wajahku merah padam, malam ini tetaplah menjadi malam yang indah. Sebab, ada kisah indah yang telah kita tulis bersama malam ini. Andaikan aksara ini bisa berteriak ‘kan kuteriakkan isi hatiku, agar dunia tahu yang sesungguhnya. Aku mencintaimu.
Oh… ya, terima kasih juga karena engkau telah mengingatkanku tentang hari istimewa ini, ulang tahunku yang ke-21. Semua itu istimewa. Namun, tahukah kau? Dirimu lebih istimewa dari semua itu.
27 Feb ‘13
S.
Ar dan Che
“Untuk apa ini?” Tanya Ar heran, ketika Che menyodorkan kepadanya sebuah pensil kayu, jelek dan penuh bekas gigitan di ujungnya.
“Aku sudah menulis bagianku. Sekarang giliranmu,” bisik Che sambil matanya tetap mengawasi gerak dan pandangan pak Proka, guru bertubuh gemuk dan berwajah sangar dengan kumis dan jambang yang liar. Suara pak Proka mengelegar, menjelaskan pelajaran yang sama sekali tidak diminati Ar dan Che. Matematika.
“Oh… menulis kisah bersama lagi? Boleh…. Tapi tak adakah pensil yang lebih bermartabat untuk Ar, sang maestro romantik klasik?” Ar enggan menerima pensil milik Che.
“Tulis saja… jangan banyak protes. Ini kertasnya. Judulnya ‘Mosaik’. Gadisnya bernama Sophie dan kekasihnya bernama Al,” bisik Che sambil tetap mengawasi gerak dan pandangan pak Proka. Aman.
“Huu…, simpan saja pensil jelekmu itu! Aku masih punya yang jauh lebih bermartabat. Setidaknya yang bukan sekaligus makanan ringan seperti punyamu.”
Sejenak Ar membaca hasil tulisan Che tentang catatan harian Sophie. Ar menerawang, mengetuk-ngetuk pensilnya di meja, kemudian mulai menulis lanjutan kisah tersebut. Tentang Al.
Al
Sophie… sudah kukatakan, mesti ada perayaan untuk tiap moment yang terjadi sekali setahun. Lihatlah, di mana-mana orang merayakan hari ulang tahun kelahiran, pacaran, pernikahan bahkan kematian. So…, ulang tahunmu pun mesti kita rayakan, tetapi bukan karena orang lain merayakan ulang tahun mereka. Kita punya alasan sendiri dan… tentu dengan cara kita sendiri. Spesial!
Maaf, jika malam ini tak ada candle light dinner, dan semua ritual perayaannya. Yang pertama, kau sendiri tahu bagaimana isi dompetku. Yang kedua, tentu kau setuju kalau makan malam dengan lilin bernyala, kini bukanlah pilihan yang romantis lagi. Picisan. Terlalu ‘biasa’. Untuk malam yang istimewa ini, ada cara yang lebih istimewa dari sekedar makan malam dengan lilin bernyala.
Ar dan Che
“Che…, apa kau telah merancang konsep perayaan ulang tahun dalam kisah ini?” Tanya Ar sambil pura-pura merenggangkan otot-otot, mengelabuhi pak Proka.
“Tidak ada,” bisik Che sambil meyusutkan tubuhnya. “Ingat, mengalir saja dalam kisahnya.”
Ar mengangguk-angguk mengerti. Tiba-tiba ia tersenyum, lalu mulai menulis lagi.
Al dan Sophie
Tak ada ritual meniup lilin, kue tart, candle light dinner atau bright adventurous dinner. Tak ada pinata seperti di Meksiko. Tak ada telur yang diwarnai merah menyala dan mi yang tidak dipotong-potong seperti di Cina.Tak ada bendera negara di jendela rumah seperti di Denmark. Tak ada dansa waltz seperti di Ekuador dan Argentina. Tak ada nasi tumpeng seperti di Jawa. Semuanya tak ada. Lagi, tak ada yang tahu kalau mereka berdua tengah merayakan ulang tahun Sophie. Yang ada hanya selembar kertas kosong dan sebuah pensil kayu tua, yang masih dipegang Al.
“Dengarkan,” Al berlagak seperti seorang guru berbicara kepada murid. “Orang Latin bilang: ‘Fortuna Dies Natalis!’ Orang Spanyol bilang: ‘Feliz Cumplea-os!’ Orang Portugal bilang: ‘Parabens!’ Di Jerman orang bilang: ‘Alles Gute zum Geburstag!’ Em…, di Paris orang bilang: ‘Joyeux Anniversaire!’ Jika ingin di-mandarin-kan akan menjadi: ‘Qu Ni Shen Er Kuai Le!’ Kalau Socrates cs di Yunani bilang…: ‘Chronia Pola!’, Nenekku bilang: ‘Happy Birthday!!!’”
“Oh, ya…?” Shopie berusaha bersikap dingin, walau sebenarnya tengah menahan tawa. “Apa masih ada yang lain?”
“Em…,’ Al salah tingkah. Leluconnya ditanggapi Sophie datar-datar saja. Ia hampir kehilangan ide.
“Masih. Masih ada. Em…, Upin-Ipin bilang: Celamat Hali Jadiii!”
Tawa keduanya tak terbendung.
Ar dan Che
Sedetik saja pak Proka lengah, secepat kilat Ar mengembalikan lembaran kisah ‘Mosaik’ kepada Che.
“Giliranmu! Ideku sudah buntu!” Ar kehabisan ide.
“Tapi, pakai pensilmu sendiri,” tambah Ar, yang kemudian salah tingkah ketika sadar ia tengah dipelototi pak Proka. Che bertingkah seolah tidak terlibat dengan apa yang dilakukan Ar. Che masih menggigit-gigit ujung pensilnya.
Sedetik sebelum mulai menulis, Che menyempatkan diri melirik ke arah Ar. Ar langsung membalas lirikannya dengan tatapan menuduh. Che tersenyum menang, lalu mulai menulis lagi.
Al dan Sophie
“Hari ini tanggal 27, bulan Februari, tahun 2013. Kita rayakan ulang tahunmu yang ke 21. Kau tahu? Aku punya ide istimewa untuk perayaan ulang tahunmu di tahun yang sempat diramalkan tidak ada ini,” Al bersemangat.
“Oh, ya…?” tanya Sophie tanpa apresiasi untuk semangat Al. “Setahuku, kau selalu punya ide ‘istimewa’, yang jika boleh kusebut aneh, untuk setiap perayaan ulang tahunku. Kira-kira apa idemu tahun ini?” Sophie menanti jawaban.
“Untuk tahun ini, dijamin brilian. Inilah perayaan ulang tahun yang belum pernah diramalkan sebelumnya,” Al semakin percaya diri.
“Aku ingin kita bersama-sama, bergantian menuliskan sebuah kisah tentang perayaan kita malam ini. Aku menulis sepenggal, kemudian kamu sepenggal, lalu aku lagi. Kamu menulis lagi, kemudian aku lagi, lalu kamu lagi, setelah itu aku lagi. Terus dan terus begitu hingga tercipta sebuah kisah. Bagaimana?” Al mengangkat alis, bangga.
“Kisah yang kita tulis bersama? Em…, kedengarannya menarik. OK. Kita coba bersama,” Shopie tampak sungguh tertarik dengan ide Al.
“OK. Begini,” rupanya Al masih mempunyai ide. “Bagaimana kalau kita bercerita tentang orang lain, yang bercerita tentang perayaan kita malam ini?”
“Kita… bercerita… tentang orang lain… yang bercerita… tentang… perayaan kita malam ini.” Sophie berusaha mengerti ide Al.
“Apa itu akan menjadi sebuah lingkaran cerita?”
“You get it!”
“OK. Aku setuju!” Shopie semakin bersemangat.
“Em…” Sophie menggigit bibirnya sambil berpikir.
“Bagaimana kalau tentang dua orang sahabat?”
“Kenapa tidak?” Al semakin bersemangat.
“OK. Kalau begitu tunggu apa lagi? Let’s move! Tetapi, karena hari ini hari spesialku, maka akulah yang duluan menulis!”
Tanpa banyak kata, Sophie meraih kertas dan pensil dari tangan Al. Sejenak ia menerawang, tersenyum sendiri, kemudian dalam diam, mulai menulis tentang dua orang sahabat. Salah satu tokoh dalam kisah itu ia beri nama Che. Judul kisah mereka….
MOSAIK
Diam-diam, Che merobek selembar kertas dari buku Matematikanya. Diraihnya pensil kayu yang sedari tadi tergeletak diam di atas meja. Pensil itu di putar-putar di sela-sela jarinya. Seperti ada jiwa yang terbangun dari tidur panjang dalam pensil itu, perlahan-lahan namun mengalir, Che mulai menulis pada lembaran kertas tadi. Tulisannya ia awali dengan catatan harian seorang gadis bernama…

RAIN FALL


RAIN FALL
Selalu ada alasan bagi setiap hati yang bertahan


            Namanya Erika. Siswi sekolah tingkat atas yang sebentar lagi akan melepas seragam putih abunya. Ia pintar, pandai berbicara, dan terkenal. Tak hayal banyak laki-laki yang mengincarnya –dan sayangnya, Erika tetap pada pilihan hatinya: laki-laki itu.
            Namanya Leo. Siswa sekolah tingkat atas yang setahun lagi menyelesaikan proses belajarnya. Lain dengan Erika, Leo bersifat penyendiri. Ia jarang terlihat mengobrol dengan teman sebayanya –Leo lebih suka berlari mengejar imajinasinya lantas kemudian bersembunyi di balik kata-kata. Sayangnya, Leo tak pernah tahu bahwa ada seseorang yang selalu ingin menemaninya.
            “Gak bosen emang bertahan pada dia yang bahkan tak tahu keberadaanmu?” suatu kali –ketika Erika sedang diam-diam mengamati Leo– hatinya berbisik.
            Erika ingin menggeleng tapi tenaga tak mendukungnya sama sekali. Ia hanya menunduk, mendengarkan keluhan hatinya yang terkutuk.
            “Apa yang mau kamu harapkan dari seseorang yang selalu kau pandang dalam diam?” hatinya mendengus, “kamu cantik Erika. Ada yang lebih pantas mendapatkan hatimu itu!”
            “Cinta tak perlu alasan, bukan?” Erika mulai memberontak. Walaupun sebenarnya, membohongi hatinya sendiri adalah pekerjaan yang mustahil ia akan menang.
            “Selalu ada alasan bagi setiap hati yang ingin dimiliki,”
            Erika kini mengangguk, membenarkan kata hatinya. ia menyukai laki-laki itu dalam diam, dan itulah alasan mengapa dirinya bertahan.
            “Kapan mau merelakan dia?”
            Bodoh. Mengapa hatinya bertanya seperti itu? “Terkadang, kita harus memperjuangkan apa yang harus di pertahankan. Dan bertahan tak harus melulu mendapatkan kebahagiaan,” jawab Erika.
            “Tapi kamu memperjuangkan dia?! Ah bodoh! Melihatmu saja dia tidak. Bagaimana ingin menghargai perjuanganmu itu?”
            Erika ingin menangis sekarang, saat hatinya benar-benar memberontak. Saat hatinya menyuruhnya untuk melihat orang lain yang “lebih pantas” dia perjuangkan. Tapi bagaimana jika dirinya sendiri bertahan pada alasan yang sama?
            “Jangan buang waktumu, Erika...” hatinya berkata. Lirih sekali.
            Erika hanya beranjak. Tak ingin lagi berdebat.
            “Kak Rika!” seseorang memanggilnya.
            Erika menoleh kebelakang dan terbelalaklah dia. Lensanya memotret senyum manis Leo lengkap dengan tindakan Leo yang sangat sederhana: “ini jangan ditinggal-tinggal. Nanti kalau hilang, nyesel loh.” Katanya seraya menyerahkan sebuah i-Pod milik Erika.
            “Makasih, Leo.” Hanya itu responnya. Ia sedang mengatur degup jantungnya sendiri yang bisa saja terdengar oleh Leo karena terlalu kencangnya.
            Dari tempatnya, Leo mengangguk sambil tersenyum kikuk. Ia sedang mengatur degup jantungnya sendiri ketika berad dengan Erika seperti ini. Leo bahkan lupa kapan terakhir kali hatinya susah di atur begini.
            Kemudian mereka berpisah: Leo kembali ke perpustakaan dan Erika ke kelas. Tanpa mereka sadari, kedua hati mereka ikut tersenyum. Pada dasarnya, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi senlanjutnya pada hati yang (ternyata) diam-diam saling mengagumi.


Sumber : http://kolombloggratis.blogspot.com/2011/03/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2NEfURgcc