oleh: Seno Gumira Ajidarma
Di stasiun Tugu, Yogyakarta, ada sebuah loket
yang istimewa. Loket itu tidak menjual tiket ke Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Tempatnya terpisah dan nampaknya selalu sepi pembeli. Padahal di masa krisis
seperti sekarang, kereta api menjadi pilihan utama, meskipun harga tiketnya
sangat mahal. Apa boleh buat, karena tiket pesawat luar biasa mahal, dan
boleh dibilang tidak masuk akal, harga tiket kereta api yang mahal itu bukan
apa-apa. Para penumpang dari Jakarta langsung antri untuk mendapatkan tiket
kembali. Itupun barangkali untuk seminggu mendatang. Boleh dipastikan, tiket
untuk akhir minggu sudah ludes seminggu sebelumnya. Loket-loket itu selalu
penuh dengan pengantri.
Makanya aneh sekali loket yang satu itu selalu
sepi. Loket itu hanya menjual tiket ke satu tujuan, yakni Negeri Senja.
Setiap sore memang selalu ada kereta
api jurusan Negeri Senja yang datang. Tetapi tidak pernah ada kereta api
datang dari Negeri Senja.
”Mereka yang pergi ke Negeri Senja, tidak
pernah kembali” kata penjaga loket.
Jadi mereka yang membeli tiket ke Negeri Senja
pasti sudah siap untuk tidak kembali.
Aku heran,
bagaimana semua ini mungkin?
Tapi orang-orang di stasiun Tugu sudah terbiasa
dengan kenyataan itu. Aku baru tahu sekarang, karena selama ini aku mondar-mandir
Jakarta-Jogja selalu menggunakan pesawat terbang.
Setiap sore selalu muncul kereta api ke jurusan
Negeri Senja. Kereta api berwarna perak itu muncul begitu saja dari arah kali
code dengan pancaran cahayannya yang gilang gemilang, seolah-olah seperti
sebuah kereta kerajaan entah darimana. Kereta api ini bukan kereta api diesel,
melainkan lokomotif biasa yang selalu mendengus-ndengus, tapi kereta api ini
memang sangat menawan. Gerbong-gerbongnya bagaikan dibuat di negeri dongeng.
Bukan hanya karena mengkilap keperakan, tapi juga karena dari jendela kita bisa
melihat sebuah dunia yang tidak mungkin. Didalam gerbong-gerbong itu kita
melihat alam terbentang yang komplet. Sebuah padang rumput dengan danau yang
tenang di mana angsa berenang-renang menyibakkan permukaanya. Kuda-kuda yang
muncul dari celah lembah dan berlari mendaki bukit. Hutan tropis yang basah
dengan bau humus dan nyanyian burung sahut menyahut. Bahkan terlihat pula alam
bawah laut yang biru, gelap dan dalam, dengan ikan-ikan yang tubuhnya
mengeluarkan cahaya.
Tapi jarang sekali orang naik dari stasiun Tugu
ke dalam gerbong-gerbong itu, meskipun pramugarinya yang siap di pintu begitu
cantik dan begitu jelita tiada terkira, dengan tubuh dan rambut yang bagaikan
selalu meruapkan bau malam. Kanak-kanak yang berlarian di padang rumput atau
taman bermain kadang-kadang berlari sampai ke jendela, menempelkan hidung dan
pipinya ke jendela, melihat orang-orang di stasiun Tugu, tapi mereka segera
berlarian kembali.
Hanya lima menit kereta api itu berhenti,
setelah itu segera berangkat lagi. Setiap sore selalu muncul kereta api itu,
ada atau tidak ada penumpang ia akan berhenti. Para pramugari turun dan siap di
pintu, kalau tidak ada penumpang, kereta api akan berangkat lagi setelah
terdengar suara peluit dari petugas, meninggalkan asap batubaranya itu, yang
berkepul kepul ke langit. Selalu terdengar lengkingannya dari kejauhan ketika
kerata api itu menghilang.
Setiap kali aku ke Jogya dan pulang ke Jakarta
dengan kereta api senja, ku perhatikan kereta api jurusan Negeri Senja itu.
Siapa yang ingin pergi untuk tidak kembali? Ternyata kadang-kadang ada. Tidak
pernah banyak, paling banter lima orang. Kadang-kadang cuma satu atau dua
orang. Mereka itu, meskipun pergi utnuk tidak kembali, tidak pernah membawa
banyak barang.
”Berapa harga tiket ke sana?”
”Oh, tidak perlu bayar.”
”Jadi?”
”Mereka yang datang ke loket ini cuma perlu
tandatangan.”
”Tandatangan apa?”
”Artinya mereka setuju untuk tidak kembali.”
”Kalau mereka berubah pikiran, dan ingin
kembali dari sana?”
”Tidak mungkin, dan tidak pernah terjadi.”
”Seperti apa Negeri Senja itu?”
”Tidak ada yang pernah tahu.”
”Lho, waktu membangun rel itu, sampai kemana?”
”Wah, rel itu sudah ada sejak stasiun ini belum
berdiri. Tidak ada catatan apa-apa tentang hal itu, dan memang tidak pernah ada
yang tahu.”
”Aneh sekali.”
”Ah, orang sini sudah biasa. Adik saja yang
sibuk bertanya-tanya.”
”Aneh, orang tidak kembali kok biasa.”
”Apanya yang aneh? Ini kan cuma seperti
kematian. Apa yang aneh dengan kematian?”
Apakah memang begitu? Apakah kita tidak perlu
merasa heran dan tidak perlu bertanya-tanya hanya karena sesuatu memang tidak
akan pernah kita ketahui? Kematian, kematian, hal itu memang penuh misteri.
Namun bukankah kereta api ini bisa di kuntit lantas kita kembali lagi?
”Bagaimana kalau saya tandatangan, tapi
tujuannya hanya untuk melihat-lihat Negeri Senja, setelah itu kembali lagi. ”
”Boleh saja, asal siap untuk tidak kembali.”
”Kalau saya lari.”
”Coba saja.”
Beranikah aku mencobanya? Aku hampir selalu
pergi, selalu pergi dari satu tempat ke tempat lain, tapi selalu kembali. Aku
selalu pergi dan tahu akan kembali. Itulah sebabnya aku bisa selalu pergi,
karena memang selalu akan kembali. Tapi pergi untuk tidak kembali?
”Seperti apa sih di sana?”
”Lho, mana kita tahu.”
Aku penasaran sekali sekarang. Setiap kali
kulihat kereta api itu datang, kuperhatikan para penumpangnya. Memang wajahnya
sudah terlihat pasrah. Siap pergi ke suatu tujuan tanpa membayangkan akan
pernah kembali. Kadang-kadang ada satu keluarga yang pergi bersama seperti mau
piknik. Orang-orang yang mengantar banyak yang menangis.
”Jangan lupakan aku ya?” teriak mereka sambil
melambai-lambaikan tangan.
Orang-orang yang berangkat selalu tersenyum
bahagia.
”Aku tidak akan pernah melupakan kamu. Jangan
lupakan aku juga ya!”
Begitulah meraka melambai-lambai sampai kereta api menghilang di balik
cakrawala. Rel menuju ke Negeri Senja memang khusus. Mula-mula memang searah
dengan rel ke jurusan Jakarta, tapi disuatu tempat akan memisah. Berbelok ke
celah sebuah lembah, lantas lenyap di balik kabut. Orang-orang seperti sudah
mengerti untuk tidak usah coba-coba menyelidik – kecuali jika siap untuk tidak
kembali. Setiap orang yang pergi ke Negeri Senja memang tidak pernah kembali.
Kecuali barangkali di dalam mimpi mereka yang di tinggalkan.
Setiap senja kuamati peron dimana orang-orang
yang siap berangkat ke Negeri Senja menunggu kereta api. Mereka datang, dengan
tenang menuju loket, tandatangan lantas duduk tenang-tenang di bangku itu.
Matahari senja yang keemasan membuat lantai peron itu seperti susunan tegel
yang terbuat dari lantakan emas. Orang-orang yang duduk dibangku, laki-laki
tua, ibu dan anak, nenek-nenek, atau seorang pemuda remaja berambut punk,
nampak begitu tenang dan begitu pasrah wajahnya – seperti mengalami kebahagian
yang mengatasi keduniawian. Apa yang membuat seseorang pergi untuk tidak
kembali?
Aku ingin bertanya kepada salah seorang
diantara orang-orang itu, tapi peron itu khusus untuk pemegang tiket ke
Negeri Senja. Aku hanya bisa memandang mereka, seperti juga orang-orang
lain di stasiun Tugu, memandang orang-orang yang berubah menjadi siluet dalam
pancaran matahari keemasan yang menyilaukan. Dalam siluet senja mereka seperti
bergerak antara ada dan tiada. Membawa kopor kecil, ransel, dan menelpon
kesana-kemari dengan HP. Apakah mereka berpamitan kepada orang-orang tercinta?
Apakah dari Negeri Senja kita tidak bisa menelpon?
Apakah negeri senja itu indah? Tidak ada satu
kabar burung pun dari sana. Tidak ada pengenalan apa-apa yang membuat kita
paling sedikit bisa mengira-ngira meskipun barangkali salah sama sekali. Tidak
ada apapun yang bisa di pegang meskipun sekedar untuk menduga-nduga saja. Hanya
nama itu saja, Negeri Senja. Apalah yang bisa kutebak dari nama itu?
Kupandang seorang wanita yang akan berangkat
kesana. Ia melangkah dengan anggun seperti bidadari. Dalam cahaya keemasan
rambutnya yang panjang dan bergelombang memberikan suatu rasa kebahagiaan yang
aneh tapi abadi. Padahal kebahagiaan itu biasanya fana, sementara, sehingga
kadang-kadang terasa sia-sia.
Apakah negeri senja menjanjikan suatu
kebahagiaan abadi? Sebegitu jauh, orang-orang yang datang ke stasiun ini lebih
banyak yang memilih pergi ke Jakarta daripada ke Negeri Senja. Banyak
diantaranya juga pergi ke jakarta untuk memburu kebahagiaan, memburu mimpi,
memburu cita-cita yang terhampar di cakrawala – meskipun Jakarta sering terasa
seperti neraka.
Di stasiun Tugu, aku termenung memandang senja.
Kereta api yang gilang gemilang dengan tujuan Negeri Senja itu tiba. Kalau aku
menaiki kereta api itu, aku tidak akan pernah kembali.
Jakarta, Senin 17 Agustus 1998