Jumat, 25 Januari 2013

Hopelist or Hopeless?:')


Kata orang aku ceria.
Jadi, kalau aku terlihat sedang bersedih, aku akan cerita. Pada beberapa orang yang aku percaya. Maka, orang-orang itu milihat diriku dari sisi yang berbeda, bukan dari aku yang biasa. Kadang mereka serentak berkata, “ini bukan lo,” atau “gue gak nyangka lo sedramatis ini,” serta ungkapan-ungkapan lain yang hanya kubalas dengan senyum terpaksa.
Sekarang, akan aku ceritakan pada kalian. Akan aku perlihatkan bagaimana aku menjadi sosok yang berbeda. Guruku pernah berkata seperti ini, “jika kalian punya impian. Maka tulis, tulis, dan tulis. Lalu tempelkan itu pada dinding kamar kalian. Karena itu salah batu loncatan harapan.”
Ini mungkin hanya tentang harapan-harapan yang dapat ku tulis tanpa pernah tahu kapan akan kurealisasikan.
Aku suka menulis. Jadi hal yang ada pada puncak harapanku adalah menjadi penulis. Kenapa aku suka menulis? Karena kata akan mewakilkan suara. Tanpa bising –karna aku suka hening. Orang-orang akan merasakan apa yang aku rasakan, tanpa harus mendengarkan teriakan dari suaraku yang cempreng ini. menulis membuat seluruh ragaku mendengarkan celotehan alam, menulis membuatku tenang, dan menulis membuatku ada. Tulisan adalah muntahan perasaan diam.
Tapi, tulisanku disini hanya tulisan. Hanya hobi yang akan terus kusalurkan.
Kedua, aku suka fisika. Harapanku selanjutnya adalah lulus dengan nilai fisika diatas 8. Fisika menghilangkan rasa pusing pada otakku. Fisika adalah pelampiasan. Sesuatu yang hanya akan diam jika aku berteriak pada deretan rumusnya. Yang hanya akan mendengarkan tanpa mengeluh. Fisika membuatku melihat kenangan yang dibuat alam.
Tak jarang fisika membuatku menangis. Bertekuk lutut pada soal yang tak bisa aku selesaikan. Tapi itu yang namanya hidup, kan? Kau harus menemui kesulitan untuk mencapai puncak. Jadi, aku akan terus menyukai fisika. Sampai kapanpun.
Aku juga suka mendengarkan. Jadi, terkadang ada sebersit harapan untuk menjadi psikolog. Kalian tau mengapa Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut? Karena Dia menyuruh makhluk-Nya untuk lebih mendengarkan daripada berbicara. Namun pada kenyataannya, manusia lebih suka menceritakan daripada mendengarkan cerita orang. Aku juga seperti itu, tapi aku suka mendengarkan. Saat seseorang menceritakan apa yang dia rasakan, aku seperti menjadi bagian darinya. Aku merasakan apa yang dia rasakan. Sesederhana itu –aku senang menjadi pendengar.
Terakhir, yang menjadi bagian paling bawah pada list harapanku, aku ingin dicintai. Oleh siapapun. Jika dicintai oleh orang yang aku cintai, anggap saja itu bonus. Aku ingin membuat semua orang bersemangat saat melihat ceria itu terpancar pada wajahku. Meski itu hanya pura-pura. Tak apa. Yang penting mereka bahagia dan aku dicintai. Itu saja.
Selesai.
Kalian akan menemukan banyak kata “tapi” pada tulisanku kali ini. Karena memang, -seperti kata Dee, realistis dan idealis beda tipis!
Bye! Sampai ketemu di tulisanku selanjutnya.

Jum'at, 25-Januari-2013
13:05 di Ruang Akademik.

Kamis, 24 Januari 2013

Teriakan Kesabaran


Teriakan Kesabaran
Adaptasi terjemahan Q.S Al-Baqarah 152-156

/1/
Deru tembakan
Julangnya sampai ke awan
Meneriakkan para pahlawan
Namanya akan tenggelam:
Kelam

/2/
Dari bentangan langit biru
Kujumpai bayang itu
Mendatangkan resah
Pada jejantung tanah basah

/3/
Senja menenggelamkan nama
Bersama warna jingganya
Sedang aku hanya merana
Pada jejak yang menjadikan
Mereka tiada

/4/
Di keheningan malam
airmata doa mengalir tiba-tiba
mendatangkan bahtera sabar
Pada setiap altar malam
Ketika mereka kembali;
Pada cahaya Illahi.

Tujuan: Negeri Senja

oleh: Seno Gumira Ajidarma


Di stasiun Tugu, Yogyakarta, ada sebuah loket yang istimewa. Loket itu tidak menjual tiket ke Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Tempatnya terpisah dan nampaknya selalu sepi pembeli. Padahal di masa krisis seperti sekarang, kereta api menjadi pilihan utama, meskipun harga tiketnya sangat mahal. Apa boleh buat, karena tiket pesawat luar biasa mahal, dan boleh dibilang tidak masuk akal, harga tiket kereta api yang mahal itu bukan apa-apa. Para penumpang dari Jakarta langsung antri untuk mendapatkan tiket kembali. Itupun barangkali untuk seminggu mendatang. Boleh dipastikan, tiket untuk akhir minggu sudah ludes seminggu sebelumnya. Loket-loket itu selalu penuh dengan pengantri.
Makanya aneh sekali loket yang satu itu selalu sepi. Loket itu hanya menjual tiket ke satu tujuan, yakni Negeri Senja.
Setiap sore memang selalu ada kereta api jurusan Negeri Senja yang datang. Tetapi tidak pernah ada kereta api datang dari Negeri Senja.
”Mereka yang pergi ke Negeri Senja, tidak pernah kembali” kata penjaga loket.
Jadi mereka yang membeli tiket ke Negeri Senja pasti sudah siap untuk tidak kembali.
Aku heran, bagaimana semua ini mungkin?                                            
Tapi orang-orang di stasiun Tugu sudah terbiasa dengan kenyataan itu. Aku baru tahu sekarang, karena selama ini aku mondar-mandir Jakarta-Jogja selalu menggunakan pesawat terbang.
Setiap sore selalu muncul kereta api ke jurusan Negeri Senja. Kereta api berwarna perak itu muncul begitu saja dari arah kali code dengan pancaran cahayannya yang gilang gemilang, seolah-olah seperti sebuah kereta kerajaan entah darimana. Kereta api ini bukan kereta api diesel, melainkan lokomotif biasa yang selalu mendengus-ndengus, tapi kereta api ini memang sangat menawan. Gerbong-gerbongnya bagaikan dibuat di negeri dongeng. Bukan hanya karena mengkilap keperakan, tapi juga karena dari jendela kita bisa melihat sebuah dunia yang tidak mungkin. Didalam gerbong-gerbong itu kita melihat alam terbentang yang komplet. Sebuah padang rumput dengan danau yang tenang di mana angsa berenang-renang menyibakkan permukaanya. Kuda-kuda yang muncul dari celah lembah dan berlari mendaki bukit. Hutan tropis yang basah dengan bau humus dan nyanyian burung sahut menyahut. Bahkan terlihat pula alam bawah laut yang biru, gelap dan dalam, dengan ikan-ikan yang tubuhnya mengeluarkan cahaya.
Tapi jarang sekali orang naik dari stasiun Tugu ke dalam gerbong-gerbong itu, meskipun pramugarinya yang siap di pintu begitu cantik dan begitu jelita tiada terkira, dengan tubuh dan rambut yang bagaikan selalu meruapkan bau malam. Kanak-kanak yang berlarian di padang rumput atau taman bermain kadang-kadang berlari sampai ke jendela, menempelkan hidung dan pipinya ke jendela, melihat orang-orang di stasiun Tugu, tapi mereka segera berlarian kembali.
Hanya lima menit kereta api itu berhenti, setelah itu segera berangkat lagi. Setiap sore selalu muncul kereta api itu, ada atau tidak ada penumpang ia akan berhenti. Para pramugari turun dan siap di pintu, kalau tidak ada penumpang, kereta api akan berangkat lagi setelah terdengar suara peluit dari petugas, meninggalkan asap batubaranya itu, yang berkepul kepul ke langit. Selalu terdengar lengkingannya dari kejauhan ketika kerata api itu menghilang.
Setiap kali aku ke Jogya dan pulang ke Jakarta dengan kereta api senja, ku perhatikan kereta api jurusan Negeri Senja itu. Siapa yang ingin pergi untuk tidak kembali? Ternyata kadang-kadang ada. Tidak pernah banyak, paling banter lima orang. Kadang-kadang cuma satu atau dua orang. Mereka itu, meskipun pergi utnuk tidak kembali, tidak pernah membawa banyak barang.
”Berapa harga tiket ke sana?”
”Oh, tidak perlu bayar.”
”Jadi?”
”Mereka yang datang ke loket ini cuma perlu tandatangan.”
”Tandatangan apa?”
”Artinya mereka setuju untuk tidak kembali.”
”Kalau mereka berubah pikiran, dan ingin kembali dari sana?”
”Tidak mungkin, dan tidak pernah terjadi.”
”Seperti apa Negeri Senja itu?”
”Tidak ada yang pernah tahu.”
”Lho, waktu membangun rel itu, sampai kemana?”
”Wah, rel itu sudah ada sejak stasiun ini belum berdiri. Tidak ada catatan apa-apa tentang hal itu, dan memang tidak pernah ada yang tahu.”
”Aneh sekali.”
”Ah, orang sini sudah biasa. Adik saja yang sibuk bertanya-tanya.”
”Aneh, orang tidak kembali kok biasa.”
”Apanya yang aneh? Ini kan cuma seperti kematian. Apa yang aneh dengan kematian?”
Apakah memang begitu? Apakah kita tidak perlu merasa heran dan tidak perlu bertanya-tanya hanya karena sesuatu memang tidak akan pernah kita ketahui? Kematian, kematian, hal itu memang penuh misteri. Namun bukankah kereta api ini bisa di kuntit lantas kita kembali lagi?
”Bagaimana kalau saya tandatangan, tapi tujuannya hanya untuk melihat-lihat Negeri Senja, setelah itu kembali lagi. ”
”Boleh saja, asal siap untuk tidak kembali.”
”Kalau saya lari.”
”Coba saja.”
Beranikah aku mencobanya? Aku hampir selalu pergi, selalu pergi dari satu tempat ke tempat lain, tapi selalu kembali. Aku selalu pergi dan tahu akan kembali. Itulah sebabnya aku bisa selalu pergi, karena memang selalu akan kembali. Tapi pergi untuk tidak kembali?
”Seperti apa sih di sana?”
”Lho, mana kita tahu.”
Aku penasaran sekali sekarang. Setiap kali kulihat kereta api itu datang, kuperhatikan para penumpangnya. Memang wajahnya sudah terlihat pasrah. Siap pergi ke suatu tujuan tanpa membayangkan akan pernah kembali. Kadang-kadang ada satu keluarga yang pergi bersama seperti mau piknik. Orang-orang yang mengantar banyak yang menangis.
”Jangan lupakan aku ya?” teriak mereka sambil melambai-lambaikan tangan.
Orang-orang yang berangkat selalu tersenyum bahagia.
”Aku tidak akan pernah melupakan kamu. Jangan lupakan aku juga ya!”
Begitulah meraka melambai-lambai sampai kereta api menghilang di balik cakrawala. Rel menuju ke Negeri Senja memang khusus. Mula-mula memang searah dengan rel ke jurusan Jakarta, tapi disuatu tempat akan memisah. Berbelok ke celah sebuah lembah, lantas lenyap di balik kabut. Orang-orang seperti sudah mengerti untuk tidak usah coba-coba menyelidik – kecuali jika siap untuk tidak kembali. Setiap orang yang pergi ke Negeri Senja memang tidak pernah kembali. Kecuali barangkali di dalam mimpi mereka yang di tinggalkan.
Setiap senja kuamati peron dimana orang-orang yang siap berangkat ke Negeri Senja menunggu kereta api. Mereka datang, dengan tenang menuju loket, tandatangan lantas duduk tenang-tenang di bangku itu. Matahari senja yang keemasan membuat lantai peron itu seperti susunan tegel yang terbuat dari lantakan emas. Orang-orang yang duduk dibangku, laki-laki tua, ibu dan anak, nenek-nenek, atau seorang pemuda remaja berambut punk, nampak begitu tenang dan begitu pasrah wajahnya – seperti mengalami kebahagian yang mengatasi keduniawian. Apa yang membuat seseorang pergi untuk tidak kembali?
Aku ingin bertanya kepada salah seorang diantara orang-orang itu, tapi peron itu khusus untuk pemegang tiket ke Negeri  Senja. Aku hanya bisa memandang mereka, seperti juga orang-orang lain di stasiun Tugu, memandang orang-orang yang berubah menjadi siluet dalam pancaran matahari keemasan yang menyilaukan. Dalam siluet senja mereka seperti bergerak antara ada dan tiada. Membawa kopor kecil, ransel, dan menelpon kesana-kemari dengan HP. Apakah mereka berpamitan kepada orang-orang tercinta? Apakah dari Negeri Senja kita tidak bisa menelpon?
Apakah negeri senja itu indah? Tidak ada satu kabar burung pun dari sana. Tidak ada pengenalan apa-apa yang membuat kita paling sedikit bisa mengira-ngira meskipun barangkali salah sama sekali. Tidak ada apapun yang bisa di pegang meskipun sekedar untuk menduga-nduga saja. Hanya nama itu saja, Negeri Senja. Apalah yang bisa kutebak dari nama itu?
Kupandang seorang wanita yang akan berangkat kesana. Ia melangkah dengan anggun seperti bidadari. Dalam cahaya keemasan rambutnya yang panjang dan bergelombang memberikan suatu rasa kebahagiaan yang aneh tapi abadi. Padahal kebahagiaan itu biasanya fana, sementara, sehingga kadang-kadang terasa sia-sia.
Apakah negeri senja menjanjikan suatu kebahagiaan abadi? Sebegitu jauh, orang-orang yang datang ke stasiun ini lebih banyak yang memilih pergi ke Jakarta daripada ke Negeri Senja. Banyak diantaranya juga pergi ke jakarta untuk memburu kebahagiaan, memburu mimpi, memburu cita-cita yang terhampar di cakrawala – meskipun Jakarta sering terasa seperti neraka.
Di stasiun Tugu, aku termenung memandang senja. Kereta api yang gilang gemilang dengan tujuan Negeri Senja itu tiba. Kalau aku menaiki kereta api itu, aku tidak akan pernah kembali.
                 
Jakarta, Senin 17 Agustus 1998

Selasa, 01 Januari 2013

Sederet Bintang untuk Anak-Anak Libanon (part1)

5 KEKUATAN DARI TUHAN

:deret kata untuk seseorang di Libanon:

5 hari sebelum natal....
            Salju semakin menyapa hangat beberapa belahan dunia. Membuat semangat matahari harus segera mengalah pada butiran-butiran kapas dari langit. Sementara kalender di meja belajar Letisha terus tersenyum sepanjang hari –tak sabar ingin menyambut natal yang sudah ada di depan mata, Letisha hanya menyoret deret angkanya dengan spidol merah tanpa gairah. Semakin dekat pada tanggal 25 Desember, Letisha, semangatnya semakin menguap.
            Ada yang hilang. Mungkin hanya 3 deret kata itu yang membuat semangat Letisha menjadi tak sama. Biasanya seminggu sebelum hari Natal ia bahkan sudah akrab dengan pohon cemara. Menghias setiap dahannya menjadi cantik. Menaruh bintang pada puncak tertingginya. Atau apapun –yang membuat Letisha semangat menyambut natal.
            DUAAAAR!!! DUAAAARR!!
            Suara itu lagi. Tanpa pikir panjang, Letisha segera meringkuk di bawah meja. Menutup telinga dan matanya kuat-kuat, menahan segala gemuruh yang di bawa oleh angin lewat deru tembakan. Ia sudah terbiasa seperti ini, setidaknya beberapa bulan terakhir semenjak Israel memutuskan mengadakan perang saudara dengan Libanon, tempat kelahirannya.
            Letisha menghela nafas berat, suara menyeramkan itu sudah tak terdengar. Lantas ia keluar dari bawah meja, menatap langit-langit kamar, mengirimkan doa pada Tuhan.
Tuhan, aku hanya ingin diberi kekuatan menjelang natal. Walaupun hanya untuk pura-pura tak mendengar deru tembakan yang julangnya sampai ke awan.
            Kemudian Letisha memejamkan matanya.

4 hari sebelum natal...
            Letisha bangun pagi-pagi sekali hari ini. Sesaat setelah membuka mata, Letisha berjalan ke arah jendela kamarnya, membukanya perlahan, dan menghirup sisa udara segar yang masih disediakan alam untuknya. Matanya memejam –terfikir kapan terakhir kali ia mendengar ayam berkokok untuk menyapa pagi. Atau burung yang bernyanyi bersama embun diujung dahan sana. Sekarang semuanya tak lagi sama.
            Terlalu banyak kenangan pahit yang menghampiri hidup Letisha di Libanon akhir-akhir ini. Ia bahkan tak ingat kapan burung diujung dahan sana bernyanyi pada pagi. Sekarang yang Letisha dengar hanya deru tembakan, suara teriakan orang-orang, dan berita kematian. Semuanya terus seperti itu. Tak berhenti berputar seperti waktu.
            “Ayah belum pulang, Bu?” tanya Letisha sambil meneguk susu kotaknya.
            Ibu hanya diam saja dengan pandangan kosong. Ada rasa yang tertahan dibalik nanar matanya. Ada kata yang tak terucap dibalik bibirnya.
            “Bu...” Letisha lantas mendekati ibunya. Memegang perlahan bahu beliau.
            Ibu menatap Letisha, kemudian memeluknya. Beliau sesenggukan diatas tubuh putrinya. Belum ada satu kata pun yang keluar. Letisha terus menunggu.
            Lama, Ibu berhenti menangis. Sambil masih menatap nanar kepada Letisha, beliau berkata pelan, “Ayahmu gugur, Nak.”
            Hanya itu. Letisha tak perlu penjelasan apa-apa lagi setelahnya. Ia tau saat ini akan tiba. Ayahnya –seseorang yang bukan dari anggota perang, melepaskan dirinya untuk menjadi relawan beberapa bulan lalu. Ibu dan Letisha sempat tak setuju, tapi beliau tetap bersikukuh untuk menjalaninya. Membela negara, katanya.
            Dan Letisha tak pernah menyangka saat itu benar-benar terjadi.
            Ayahnya gugur saat keluar dari tempat persembunyiaannya. Mencoba bermaksud melawan Israel, namun takdir membawanya pada arah lain.
            Seekor kupu-kupu putih hinggap pada tangan Letisha. Membuatnya tersadar dai lamunan dan segera menyeka air mata yang sejak tadi menari di pipinya. Ia merindukan ayah. Sosok yang selalu mendekapnya saat deru tembakan itu terdengar. Sosok yang ada disampingnya saat ia merasa takut. Sosok yang percaya bahwa Letisha akan menggapai bintangnya seperti bintang di atas pohon natal.
            Letisha merindukan Ayah.
            “Letisha, apakah kau sudah bangun?” Ibu mengetuk pintu kamar dengan pelan.
            Tanpa menjawab, Letisha segera beranjak dari tempatnya mengulang masa lalu tadi. Ia membukakan pintu untuk ibunya, “Selamat pagi, Bu.” Ucap Letisha sambil tersenyum dan mencium Ibu.
            “Pagi. Bagus jika kau sudah bangun. Ayo turun kebawah, bantu ibu membuat kue.”
            Letisha mengangguk dan mengikuti Ibu. Saat menjelang natal, keluarga Letisha selalu membuat kue jahe. Kue berbentuk boneka manusia yang terbuat dari adonan terigu dan sedikit jahe ini adalah kesukaan turun-temurun keluarganya. Kue ini seakan menjadi santapan wajib untuk lebih menghangatkan suasana natal.
            Letisha segera mengambil bahan-bahan yang diperlukan ibu untuk membuat kue jahenya. Sedang ibu terus mengocok adonan dengan telaten, Letisha memandangnya sejenak. Masih ada rindu pada nanar mata Ibu. Mungkin beliau masih belum terbiasa menjalankan hari-harinya tanpa ayah. Dulu, selama menjelang natal ayah selalu meliburkan diri dari kantor hanya untuk mempunyai waktu lebih lama dengan keluarganya. Ayah selalu membantu ibu dan Letisha untuk membuat kue jahe bersama-sama. Ayah selalu menghias pohon natal. Ayah selalu ada saat natal sebelum natal tahun ini menjelang.
            “Sha, tolong tambahkan jahenya lagi,” ibu kembali menyadarkan lamunan Letisha.
            Ia segera memenuhi permintaan ibunya. Kemudian berkata lirih, “ini tahun pertama ayah gak buat kue bareng kita bu.”
            Ibu menghentikan gerakannya. Menatap Letisha. Ia tahu, seorang anak pasti merindukan saat indah bersama ayahnya. Namun Ibu tak dapat berbuat apa-apa, selain mendekap erat putrinya. “sudahlah, Nak. Jangan terus mengungkit jika kau tak ingin terus merasa kehilangan. Ikhlaskan. Biarkan ayahmu bahagia dengan jalan yang telah mengantarkannya kembali pada Tuhan.”
            Letisha tak menggubris ucapan ibunya. Walaupun dalam hati ia harus membenarkan kata-kata beliau. Tapi ia merindukan Ayah. Jadi ia hanya merangkai sebuah doa dalam dekapan ibundanya.
            Tuhan, aku ingin kuat seperti Ibu. Yang tidak memperlihatkan rasa kehilangannya. Beri aku kekuatan itu, Tuhan. Meski lewat airmata yang sesekali membasahi wajah saat aku rindu Ayah.
            Letisha terus mendekap ibunya. Lebih erat.

Deret Kata untuk Anak-Anak Palestina

CINTA 
 
            Kesya lantas mematikan televisi yang sedari tadi berteriak tentang nasib anak-anak Palestina. Semakin lama ia semakin muak dengan tingkah laku tentara Israel –yang menurutnya sudah diluar akal sehat manusia. Bagaimana bisa? Dengan mudahnya orang-orang  jahat itu merenggut hak anak yang bahkan takkan pernah tau apa salah mereka sampai mereka tak bisa menikmati bahagia. Sehari-hari mereka hanya mendengar deru tembakan, suara-suara menyeramkan, dan berita kematian. Tak ada kegembiraan, yang ada hanya tangisan meraung-meraung meminta belas kasihan.
            Lebih parahnya lagi, dunia justru menutup telinga akan hal ini. Tak ada yang peduli. Jangankan untuk mengulurkan tangan mereka, untuk melihat bagaimana mirisnya negeri jajahan Yahudi ini saja, mereka tak mau.
            “Kak Kesya....” seseorang memanggilnya dari luar. Kesyatersadar dari lamunan, dan segera berjalan keluar.
            Di depan pintu kamarnya sudah berdiri Nesya, adiknya yang baru saja berusia 8 tahun, “kenapa Sya?”
            “Temenin aku main diluar yuk. Kita main di Negeri Hujan.” pinta Nesya, sambil menunjuk istana bonekanya di ruang tamu.
            “Boleh,” tanpa pikir panjang, Kesya menuruti permintaan adiknya. Negeri Hujan adalah salah satu dari sekian ribu negeri dongeng koleksi Nesya.
            “Kakak jadi Raja Hujannya. Aku jadi Putri Embunnya.” Nesya menjelaskan –sedang Kesya hanya mangut-mangut tanda mengerti. Setiap hujan turun, Nesya dan Kesya selalu bermain di Negeri Hujan.“Jadi nanti Raja Hujan marah sama rakyat. Soalnya rakyatnya itu....” Nesya terdiam lama. Bingung memikirkan alur apalagi yang harus ia buat. Akhir-akhir ini kotanya terus dilanda hujan, dan setiap hujan –ia dan kakaknya selalu bermain di Negeri Hujan dengan alur yang berbeda-beda.
            “Sambil nungguin penyebab Raja Hujan marah, gimana kalau kamu dengerin kakak cerita aja?” celetuk Kesya tiba-tiba.
            “Emang kakak mau cerita apa?”
            Sekarang giliran Kesya yang terdiam. Namun tak lama kemudian, ia mendapatkan sebuah ide berlian. Ia tak ingin anak-anak Palestina tak di dengar bahkan oleh adiknya sendiri. Adiknya harus tahu bagaimana nasib teman-temannya di luar sana.
            “Cerita tentang seorang anak yang nasibnya gak seberuntung kamu.”
            “Nasib itu apa?” sekarang Nesya duduk menghadap kakaknya. Matanya yang bening seolah memerlihatkan bahwa ia tertarik dengan cerita Kesya.
            “Nasib itu hidup. Di suatu negeri yang bernama Palestina, ada seorang anak yang bernama Maryam. Umurnya baru 6 tahun, lebih kecil daripada kamu. Dia punya seorang ayah yang pekerjaannya jadi tentara, dan seorang ibu yang sangat menyayanginya. Maryam gak pernah sedih selama hidupnya.”
            “Apa yang buat dia gak beruntung? Dia gak pernah sedih. Ayahnya juga tentara, dia pasti bangga punya ayah yang kemana-mana bawa pistol. Bisa nembak orang jahat,” Nesya menuturkan pendapatnya dengan polos.
            “Kakak belum selesai, Nesya. Ya memang sih ayahnya yang tentara bisa nembak orang jahat. Sampai suatu hari, waktu dia lagi main di taman, tiba-tiba ada suara yang begitu keras. Yang bisa bikin telinga kamu sakit kalau dengarnya,”
            “Suara apa itu kak?” Nesya mengubah posisi duduknya. Semakin bersemangat mendengar cerita anak yang bernama Maryam itu.
            “Suara bom. Bunyinya kayak petir, tapi ini di tanah, bukan di awan. Kamu bisa bayangin kan gimana kerasnya suara petir tapi di tanah?”
            “Aku tau kalau ada petir di awan itu berarti Raja Hujan lagi marah. Tapi kalau petir di tanah.......” Nesya menggantukan kalimatnya, kemudian bergidik ngeri. Membayangkan bagaimana nasibnya jika ketika itu dia sedang berada di taman bersama Maryam.
            Kesya tak menggubris celotehan adiknya, ia terus melanjutkan cerita, “Maryam dan semua temannya kaget waktu itu. Mereka mencoba menyelamatkan diri mereka masing-masing. Setelah suara keras itu tak terdengar lagi, Maryam pulang ke rumahnya. Tapiia lupa dimana letak rumahnya yang benar, karena semuanya udah rata sama tanah. Gak ada satupun yang tersisa,” Kesya menarik nafasnya dengan berat. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nasib perempuan kecil yang seharusnya mempunyai perlindungan, justru yang di dapat hanya kemalangan.
            “Rumahnya kena petir ya kak?” Nesya berceloteh lagi.
            Kesya hanya mengganggukkan kepalanya.
            “Kenapa dia gak minta ayahnya buat tembak orang jahat itu?”
            “Sya....kamu jangan komentar apa-apa dulu dong. Kakak belum selesai. Jadi kepotong-potong ceritanya,” kali ini Kesya menggelengkan kepalanya. Ia tak mengerti bagaimana bisa ia mempunyai seorang adik yang bawel sekali. Lama-lama ia berfikir bahwa ia telah salah langkah mengajak adiknya ini mendengar cerita.
            “Maaf deh. Abis aku penasaran kak.” Kata Nesya sambil menekuk bibirnya.
            “Dan pada hari itu juga, Maryam nangis buat yang pertama kali. Dia bingung. Sambil nangis, Maryam pergi mencari ibunya. Sampailah ia di ujung rumah yang dulunya dapur. Disamping kompor yang telah meledak, tergeletak seorang wanita. Mukanya hitam semua, kebakar,” walaupun ini hanya mengarang, Kesya ngeri sendiri.
            “Maryam gak bisa apa-apa. Dia cuma nangis sendirian. Berulang kali dia menggoyangkan tubuh ibunya, tapi hasilnya gak ada. Ibunya tetap gak bangun. Dari situ dia sadar kalau dia harus cari ayahnya,”
            “Jadi, Maryam meninggalkan ibunya dan berjalan keliling kota tak tentu arah. Semua kota sudah hangus terbakar, tak ada yang tersisa. Petir tanah tadi menghancurkan kota tinggal Maryam,” Kesya menghela nafasnya sejenak sebelum akhirnya kembali melanjutkan cerita.
            “Maryam terus mencari ayahnya. Berhari-hari ia berjalan menyusuri kota, teriknya udara Palestina tak menyurutkan semangatnya, tanpa ia sadar bahwa tak ada makanan yang mengisi perutnya. Dia kelaparan. Tapi dia tetap mau berjalan mencari ayahnya. Sampai suatu hari Maryam udah gak kuat nahan rasa laparnya. Dia memutuskan untuk beristirahat di sebuah toko dan tertidur disana. Lama sekali,”
            “Lama sekali?” Nesya yang sejak tadi hanyut dalam cerita, menuntut penjelasan kalimat terakhir kakaknya.
            “Ya. Dia tertidur disana berhari-hari dan gak terbangun lagi. Pemilik toko yang sengaja berkunjung ke tokonya melihat Maryam yang sudah tak bernyawa. Maryam meninggal karena kelaparan.” Miris, Kesya tak dapat membayangkan bagaimana nasib seorang Maryam.
            “Kasian Maryam. Harusnya aku bisa bantu dia, biar dia bisa cari ayahnya dan gak nangis lagi. Kakak terlambat cerita sih,” Nesya bersingut –kini menyalahkan kakaknya.
            “Gak ada yang terlambat di dunia ini, Nesya. Kamu bisa tetap bantu Maryam kok,” Kesya mengulum senyumnya sambil membelai lembut rambut Nesya.
            “Caranya?”
            “Dengan mengirimkan doa untuk Maryam yang sudah ada di surga sana.”
            Nesya terdiam cukup lama. Kemudian ia berdiri, mengambil sebuah buku tulis dari dalam tasnya dan merobek sisi tengahnya. Ditulisnya beberapa baris kalimat yang Kesya tak tau apa isinya. “Aku sekarang tau kenapa Raja Hujan marah sama rakyatnya,” kemudian Nesya berujar.
            “Kenapa?”
            “Karena rakyatnya gak mau peduli sama nasib orang-orang dari Negeri Tandus sana. Rakyat Negeri Hujan hanya mementingkan diri mereka sendiri. Tanpa sadar bahwa ada orang yang memerlukan bantuan mereka.”
            Kesya menganga. Alur yang sempurna! Dilukiskan oleh anak yang baru berusia 8 tahun. Ia bahkan tak menyangka bagaimana bisa adiknya mempunyai jiwa sosial yang begitu tinggi terhadap teman-temannya. Nesya tak menutup telinga untuk masalah teman-temannya. Di celotehannya yang polos barusan, Kesya tahu, adiknya bersedia mengulurkan kedua tangannya kapan saja.
            Nesya terus berceloteh tentang Negeri Hujan dan alur baru yang sedang di buatnya. Secara diam-diam Kesya melihat isi dari kertas yang tadi di robek Nesya, tertulis sebaris doa tulus disana;
Untuk Maryam,
Aku mungkin gak sempat bawain kamu makanan. Tapi sekarang aku minta sama Tuhan semoga kamu dan ayah ibumu bisa sama-sama lagi di surga.
Salam, Nesya.
            Kesya tersenyum. Bersyukur karena setidaknya ada anak Indonesia yang peduli bagaimana nasib anak-anak Palestina. Walaupun hanya 2 orang. Ia dan adiknya.
Sumber : http://kolombloggratis.blogspot.com/2011/03/tips-cara-supaya-artikel-blog-tidak.html#ixzz2NEfURgcc