CINTA
Kesya lantas mematikan televisi yang
sedari tadi berteriak tentang nasib anak-anak Palestina. Semakin lama ia
semakin muak dengan tingkah laku tentara Israel –yang menurutnya sudah diluar
akal sehat manusia. Bagaimana bisa? Dengan mudahnya orang-orang jahat itu merenggut hak anak yang bahkan
takkan pernah tau apa salah mereka sampai mereka tak bisa menikmati bahagia.
Sehari-hari mereka hanya mendengar deru tembakan, suara-suara menyeramkan, dan
berita kematian. Tak ada kegembiraan, yang ada hanya tangisan meraung-meraung
meminta belas kasihan.
Lebih parahnya lagi, dunia justru
menutup telinga akan hal ini. Tak ada yang peduli. Jangankan untuk mengulurkan
tangan mereka, untuk melihat bagaimana mirisnya negeri jajahan Yahudi ini saja,
mereka tak mau.
“Kak Kesya....” seseorang
memanggilnya dari luar. Kesyatersadar dari lamunan, dan segera berjalan keluar.
Di depan pintu kamarnya sudah
berdiri Nesya, adiknya yang baru saja berusia 8 tahun, “kenapa Sya?”
“Temenin aku main diluar yuk. Kita
main di Negeri Hujan.” pinta Nesya, sambil menunjuk istana bonekanya di ruang
tamu.
“Boleh,” tanpa pikir panjang, Kesya
menuruti permintaan adiknya. Negeri Hujan adalah salah satu dari sekian ribu
negeri dongeng koleksi Nesya.
“Kakak jadi Raja Hujannya. Aku jadi
Putri Embunnya.” Nesya menjelaskan –sedang Kesya hanya mangut-mangut tanda
mengerti. Setiap hujan turun, Nesya dan Kesya selalu bermain di Negeri Hujan.“Jadi
nanti Raja Hujan marah sama rakyat. Soalnya rakyatnya itu....” Nesya terdiam
lama. Bingung memikirkan alur apalagi yang harus ia buat. Akhir-akhir ini
kotanya terus dilanda hujan, dan setiap hujan –ia dan kakaknya selalu bermain
di Negeri Hujan dengan alur yang berbeda-beda.
“Sambil nungguin penyebab Raja Hujan
marah, gimana kalau kamu dengerin kakak cerita aja?” celetuk Kesya tiba-tiba.
“Emang kakak mau cerita apa?”
Sekarang giliran Kesya yang terdiam.
Namun tak lama kemudian, ia mendapatkan sebuah ide berlian. Ia tak ingin
anak-anak Palestina tak di dengar bahkan oleh adiknya sendiri. Adiknya harus tahu
bagaimana nasib teman-temannya di luar sana.
“Cerita tentang seorang anak yang
nasibnya gak seberuntung kamu.”
“Nasib itu apa?” sekarang Nesya
duduk menghadap kakaknya. Matanya yang bening seolah memerlihatkan bahwa ia
tertarik dengan cerita Kesya.
“Nasib itu hidup. Di suatu negeri
yang bernama Palestina, ada seorang anak yang bernama Maryam. Umurnya baru 6
tahun, lebih kecil daripada kamu. Dia punya seorang ayah yang pekerjaannya jadi
tentara, dan seorang ibu yang sangat menyayanginya. Maryam gak pernah sedih
selama hidupnya.”
“Apa yang buat dia gak beruntung?
Dia gak pernah sedih. Ayahnya juga tentara, dia pasti bangga punya ayah yang
kemana-mana bawa pistol. Bisa nembak orang jahat,” Nesya menuturkan pendapatnya
dengan polos.
“Kakak belum selesai, Nesya. Ya
memang sih ayahnya yang tentara bisa nembak orang jahat. Sampai suatu hari,
waktu dia lagi main di taman, tiba-tiba ada suara yang begitu keras. Yang bisa
bikin telinga kamu sakit kalau dengarnya,”
“Suara apa itu kak?” Nesya mengubah
posisi duduknya. Semakin bersemangat mendengar cerita anak yang bernama Maryam
itu.
“Suara bom. Bunyinya kayak petir,
tapi ini di tanah, bukan di awan. Kamu bisa bayangin kan gimana kerasnya suara
petir tapi di tanah?”
“Aku tau kalau ada petir di awan itu
berarti Raja Hujan lagi marah. Tapi kalau petir di tanah.......” Nesya
menggantukan kalimatnya, kemudian bergidik ngeri. Membayangkan bagaimana
nasibnya jika ketika itu dia sedang berada di taman bersama Maryam.
Kesya tak menggubris celotehan
adiknya, ia terus melanjutkan cerita, “Maryam dan semua temannya kaget waktu
itu. Mereka mencoba menyelamatkan diri mereka masing-masing. Setelah suara
keras itu tak terdengar lagi, Maryam pulang ke rumahnya. Tapiia lupa dimana
letak rumahnya yang benar, karena semuanya udah rata sama tanah. Gak ada
satupun yang tersisa,” Kesya menarik nafasnya dengan berat. Ia tak bisa
membayangkan bagaimana nasib perempuan kecil yang seharusnya mempunyai
perlindungan, justru yang di dapat hanya kemalangan.
“Rumahnya kena petir ya kak?” Nesya
berceloteh lagi.
Kesya hanya mengganggukkan
kepalanya.
“Kenapa dia gak minta ayahnya buat
tembak orang jahat itu?”
“Sya....kamu jangan komentar apa-apa
dulu dong. Kakak belum selesai. Jadi kepotong-potong ceritanya,” kali ini Kesya
menggelengkan kepalanya. Ia tak mengerti bagaimana bisa ia mempunyai seorang
adik yang bawel sekali. Lama-lama ia berfikir bahwa ia telah salah langkah mengajak
adiknya ini mendengar cerita.
“Maaf deh. Abis aku penasaran kak.”
Kata Nesya sambil menekuk bibirnya.
“Dan pada hari itu juga, Maryam
nangis buat yang pertama kali. Dia bingung. Sambil nangis, Maryam pergi mencari
ibunya. Sampailah ia di ujung rumah yang dulunya dapur. Disamping kompor yang
telah meledak, tergeletak seorang wanita. Mukanya hitam semua, kebakar,”
walaupun ini hanya mengarang, Kesya ngeri sendiri.
“Maryam gak bisa apa-apa. Dia cuma
nangis sendirian. Berulang kali dia menggoyangkan tubuh ibunya, tapi hasilnya
gak ada. Ibunya tetap gak bangun. Dari situ dia sadar kalau dia harus cari
ayahnya,”
“Jadi, Maryam meninggalkan ibunya
dan berjalan keliling kota tak tentu arah. Semua kota sudah hangus terbakar, tak
ada yang tersisa. Petir tanah tadi menghancurkan kota tinggal Maryam,” Kesya
menghela nafasnya sejenak sebelum akhirnya kembali melanjutkan cerita.
“Maryam terus mencari ayahnya.
Berhari-hari ia berjalan menyusuri kota, teriknya udara Palestina tak
menyurutkan semangatnya, tanpa ia sadar bahwa tak ada makanan yang mengisi
perutnya. Dia kelaparan. Tapi dia tetap mau berjalan mencari ayahnya. Sampai
suatu hari Maryam udah gak kuat nahan rasa laparnya. Dia memutuskan untuk beristirahat
di sebuah toko dan tertidur disana. Lama sekali,”
“Lama sekali?” Nesya yang sejak tadi
hanyut dalam cerita, menuntut penjelasan kalimat terakhir kakaknya.
“Ya. Dia tertidur disana
berhari-hari dan gak terbangun lagi. Pemilik toko yang sengaja berkunjung ke
tokonya melihat Maryam yang sudah tak bernyawa. Maryam meninggal karena
kelaparan.” Miris, Kesya tak dapat membayangkan bagaimana nasib seorang Maryam.
“Kasian Maryam. Harusnya aku bisa
bantu dia, biar dia bisa cari ayahnya dan gak nangis lagi. Kakak terlambat
cerita sih,” Nesya bersingut –kini menyalahkan kakaknya.
“Gak ada yang terlambat di dunia
ini, Nesya. Kamu bisa tetap bantu Maryam kok,” Kesya mengulum senyumnya sambil
membelai lembut rambut Nesya.
“Caranya?”
“Dengan mengirimkan doa untuk Maryam
yang sudah ada di surga sana.”
Nesya terdiam cukup lama. Kemudian
ia berdiri, mengambil sebuah buku tulis dari dalam tasnya dan merobek sisi
tengahnya. Ditulisnya beberapa baris kalimat yang Kesya tak tau apa isinya.
“Aku sekarang tau kenapa Raja Hujan marah sama rakyatnya,” kemudian Nesya
berujar.
“Kenapa?”
“Karena rakyatnya gak mau peduli
sama nasib orang-orang dari Negeri Tandus sana. Rakyat Negeri Hujan hanya
mementingkan diri mereka sendiri. Tanpa sadar bahwa ada orang yang memerlukan
bantuan mereka.”
Kesya menganga. Alur yang sempurna!
Dilukiskan oleh anak yang baru berusia 8 tahun. Ia bahkan tak menyangka
bagaimana bisa adiknya mempunyai jiwa sosial yang begitu tinggi terhadap
teman-temannya. Nesya tak menutup telinga untuk masalah teman-temannya. Di
celotehannya yang polos barusan, Kesya tahu, adiknya bersedia mengulurkan kedua
tangannya kapan saja.
Nesya terus berceloteh tentang
Negeri Hujan dan alur baru yang sedang di buatnya. Secara diam-diam Kesya
melihat isi dari kertas yang tadi di robek Nesya, tertulis sebaris doa tulus
disana;
Untuk
Maryam,
Aku
mungkin gak sempat bawain kamu makanan. Tapi sekarang aku minta sama Tuhan
semoga kamu dan ayah ibumu bisa sama-sama lagi di surga.
Salam,
Nesya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar