foto diambil dari tumblr;) |
Naila
membolak-balikkan buku pelajarannya dengan gemas. Sudah setengah jam yang lalu
ia berkutik dengan satu soal ke satu soal yang lain. Mencari dari satu sumber
hingga kesatu sumber yang lain. Namun, sudah setengah jam yang lalu juga soalnya
belum selesai setengah. Padahal, tugas yang lain masih menunggu untuk di
sentuh. Naila di buat frustasi karenanya.
Jadi,
Naila memilih untuk menyerah saja. Ia menutup semua buku pelajarannya, lantas
mengambil sebuah novel karangan C.S Lewis –pengarang favoritnya– yang
tergeletak dari setengah jam yang lalu. Ini saatnya untuk mengistirahatkan
sebentar otak kirinya, dan membiarkan otak kanannya menarik nafas.
Ketika
Naila sedang terbius oleh deretan kata dan masuk dalam dunia fantasinya, seseorang
mengguncang bahunya pelan, membuat Naila terpaksabangun dari imajinasinya.
“Gue
mau ngomong sama lu,” kata seseorang itu. Yang tak lain adalah Acha, teman
kelas sebelah.
“Ya
ngomong aja. Ada apa?” jawab Naila santai, sambil menutup novelnya.
“Lu
berubah,” kata Acha lagi. singkat, padat, dan sangat jelas.
Tapi
Naila mengerutkan kening. Menuntut penjelasan sampai titik penghabisan.
“Gue
dan yang lain kehilangan diri lu yang dulu, Nai.”
Naila
menarik nafasnya berat. Lagi-lagi masalah yang menurutnya kecil, tapi di
besarkan oleh semua temannya. “Terus?” hanya itu respon yang Naila beri,
sehingga membuat Acha tak mengerti.
“Ya
gak terus-terus. Kita kangen elu Nai. Sebelum lu sesibuk ini,”
“Gue
pun kangen diri gue yang dulu, Cha. Tapi gue gak bisa ninggalin realitas.”
Naila berucap lirih.
“Gak
adakah waktu dari lu buat kita?”
“Belum,
Cha.” Naila membereskan semua bukunya. Memasukkannya ke dalam tas, “maaf, Cha.
Gue duluan. Masih harus beresin buku di perpus. Salam buat yang lain.” Ia
segera berlalu, meninggalkan Acha yang masih diam disitu.
Sebenarnya,
tak ada buku yang harus di bereskan, Naila hanya menghindar. Ia hanya tak ingin
segala masalah yang ada bertambah panjang. Karena terkadang, berlari
menghindari memang lebih baik daripada bertarung melawan emosi.
Naila
terduduk lesu di pojokan perpus, tempat favoritnya. Ia kembali mengambil
novelnya, mencoba terlarut bersama deretan kata. Namun, lagi-lagi kegiatannya
harus terhenti ketika otaknya memutuskan untuk memikirkan masalah yang baru
saja di utarakan Acha.
Acha
benar. Ia sudah lama tidak berkumpul dengan teman-temannya. Ini karena
kesibukan yang menuntut untuk tak di biarkan. Hampir setiap hari Naila harus
belajar sampai jam enam petang, dan di lanjutkan dengan mengerjakan tugas. Selesai
mengerjakan tugas, ia segera pergi tidur. Benar-benar tak
ada waktu untuk meninggalkan rutinitas. Kalaupun ada waktu luang, Naila
menggunakannya untuk beristirahat. Untuk bersenang-senang dengan dunianya dan
meninggalkan rutinitas. Jadi wajar, jika teman-temannya juga meminta waktunya.
Tapi
di sisi lain, Naila harus memproitaskan hal mana yang harus dia kerjakan
duluan. Dan bermain, selalu di urutan terakhir. Lagipula, sejak semester
kemarin Naila sudah tak memikirkan hal-hal yang membuang waktu. Ia lebih memilih
untuk mengerjakan rutinitasnya, walaupun terkadang itu membuatnya jenuh. Dan
hanya dengan membaca, kejenuhannya terobati.
Naila
tak tahu lagi apa yang telah dan harus ia perbuat, sampai-sampai matanya panas.
Kemudian, setetes demi setetes air mata turun bersama kekosongan yang menyergap
hatinya.
“Kenapa?”
seseorang menarik kursi di depan Naila. Membuat Naila tersentak sebentar,
kemudian menangis lagi.
“Yaudah
nangis aja dulu,” kata seseorang itu lagi sambil membolak-balikkan majalah di
tangannya.
Setelah beberapa saat, Naila menyurutkan air matanya. Seseorang itu masih disana, tenggelam bersama majalah yang sedang di bacanya. Tak menuntut Naila untuk bercerita, hanya menemaninya saja disana. Dalam diam.
Setelah beberapa saat, Naila menyurutkan air matanya. Seseorang itu masih disana, tenggelam bersama majalah yang sedang di bacanya. Tak menuntut Naila untuk bercerita, hanya menemaninya saja disana. Dalam diam.
“Sudah,
Kak.” Naila membuka pembicaraan.
“Sudah
siap cerita?” seseorang itu berkata sambil menyerahkan sapu tangan miliknya.
Naila
tersenyum dan mengambil sapu tangan yang di berikan. Seseorang di depannya ini
selalu tahu bagaimana membuat hatinya tenang. “Aku cape, Kak.” kata Naila
lirih.
“Sudah
kuduga. Apalagi kali ini? Tentang orang rumah lagi?”
Naila
menggeleng.
“Lalu?”
“Teman-teman.
Mereka bilang aku berubah. Mereka bilang aku gak punya waktu lagi buat mereka.
Tapi aku kayak gini kan karna ada alasannya,” Naila menarik nafas sebentar takut
ia menangis lagi.
“Terus
yang buat kamu nangis itu apa?”
“Aku
gak tahu kali ini siapa yang salah. Aku yang terlalu sibuk atau mereka yang gak
mau ngerti. Entahlah,” lanjut Naila lagi.
“Namanya
juga cewek, suka labil sendiri sama masalahnya. Sudahlah, tak usah terlalu
dipikirkan,” kata seseorang itu sambil mengangkat bahu.
Naila
melotot. Namanya juga cowok, selalu saja menanggap enteng setiap masalahnya.
Umpat Naila dalam hati.
“Ada
saatnya dimana kamu harus ngalah sama rutinitas kamu, Nai.” Seseorang itu
melanjutkan, seolah bisa membaca apa yang di pikirkan Naila.
“Gak
bisa, Kak. Gak semudah itu.”
“Berhentilah
mengeluh. Coba sedikit demi sedikit. Aku tahu kamu sibuk dengan segala
rutinitasmu itu, tapi teman-temanmu juga kangen kamu, Nai. Emang kamu gak
kangen mereka?” seseorang itu menutup majalahnya, melipat tangannya di atas
meja, dan memerhatikan Naila lekat-lekat.
“Aku
gak tahu. Rutinitas ini buat aku lupa segalanya, Kak. Kalaupun ada waktu luang,
aku pengen melakukan hobiku yang sempat aku abaikan. Mengertilah, Kak.”
“Debat
sama kamu emang gak pernah ada ujungnya, Nai.” Seseorang itu menarik nafas.
Kemudian berdiri, mengulurkan sebelah tangannya yang disambut lagi oleh Naila.
“Mau
kemana?” tanya Naila.
“Ke
tempat favorit kita,” jawab seseorang itu.
***
Langit
sudah berganti warna dengan cahaya jingga yang membias kesana-sini. Naila
menatap altar luas di atas sana, sambil sesekali tersenyum.
“Bilang
apa?” seseorang itu membuat Naila menoleh sambil mengerutkan kening.
“Apanya?”
kata Naila.
“Setidaknya
disini kamu melupakan sebentar masalahmu, kan?” kata seseorang itu lagi sambil
tersenyum, menatap mata Naila lagi.
Naila
ikut tersenyum. Seseorang ini benar, disini ia temukan kedamaian. Meninggalkan
segala rutinitasnya, masalahnya, bahkan hobinya hanya untuk menghitung
detik-detik langit berganti warna menjadi jingga, kemudian menjadi gelap begitu
saja. Naila temukan dunianya disini. Bersama seseorang yang tak pernah
memberikan solusi untuknya, tapi terus memberikan ketenangan untuk hatinya.
Singkat, Naila jatuh cinta dengan....semuanya.
“Makasih,
Kak.” Kata Naila yang kemudian menggenggam tangan seseorang itu.
“Ya,
Nai. Sama-sama. Sudah ya, jangan dipikirkan. Setiap masalah pasti ada jalan
keluar,” jawab seseorang itu dengan balas menggenggam tangan Naila.
Lalu
mereka melanjutkan menghitung detik-detik langit berganti warna menjadi jingga,
dan menjadi gelap begitu saja.
Jum'at, 08-03-2013
23:22
Jum'at, 08-03-2013
23:22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar