Riska
menyeruput teh hijaunya sekali lagi. Pandangannya keluar, tidak benar-benar
memperhatikan apa yang ada disana. Pikirannya tak terfokus, kecuali pada
persoalan itu. Satu nama dihatinya.
Tanggal unik ditelinganya. Dan kenangan pahit-manis dimatanya. Mereka begitu
bercabang, membuat Riska ingin berteriak, menangis, bahkan marah pada waktu
yang sama. Andai saja waktu dapat ia
putar, ia lebih memilih untuk tidak menunggu pelangi setelah hujan. Untuk apa
berharap jika hanya terbalaskan rasa kecewa? Untuk apa menunggu jika akhirnya
hal yang ditunggu pun pupus? Untuk apa Riska melakukan semuanya hanya demi
seseorang yang bahkan tak pernah mencoba untuk merawat hatinya? Untuk apa
pengorbanannya? Membuahkan hasilkah? Membuatnya bahagiakah? Mungkin saat ini
tidak. Dan selamanya akan tetap menjadi tidak.
“Mau sampai kapan lo kayak gini
terus? Diem nunggu kebahagiaan jemput lo. Kebahagiaan itu dicari, bukan
ditunggu.” Ara mengampiri, dengan bunga mawar ditangannya.
Riska tersenyum, pahit. Sahabatnya
ini bahkan dapat bangkit setelah jatuh berkali-kali, “lo gak tau apa yang
sebenarnya gue rasain Ra.”
“Gak mungkinlah gue gak ngerasain.
Gue sama lo udah dari SMP. Dan lo stuck di persoalan yang sama. Bertahun-tahun.
Tanpa terbalaskan.”
Riska menarik nafas, berat.
“Liat,
lo liat mereka yang disana.” Ara menunjuk dua pasang remaja yang sedang berbagi
kebahagiaan. Mereka tersenyum bahkan sesekali tertawa lepas saat mendengar
salah satunya selesai bercerita. “Mereka gak akan kayak gitu kalau mereka gak nyiptain
kebahagian mereka sendiri, Ris.”
“Gue
pernah kayak gitu. Cerita bareng, ketawa bareng, makan bareng, sama Rafa. Gue
bahkan bisa lebih bahagia dibanding mereka waktu gue sama Rafa. Gue dulu
bahagia.”
“Pernah.
Dan itu pun dulu. Sekarang? Gak pernah tuh gue liat lo bahagia.”
“Ya
itu karena yang nyiptain kebahagiaan gue pun udah gak ada.”
“Itu
karena lo gak mau nyari yang nyiptain kebahagiaan lo lagi. Sampe kapan nyalahin
keadaan? Please berhenti liat Rafa yang udah jauh disana. Dia masa lalu lo,
Ris. Biarin dia bahagia dengan jalannya. Lo juga harus bahagia karena hidup lo
tetep berjalan walaupun gak ada dia.”
“Lo
bilang kayak gitu karna lo gak ngerasain apa yang gue rasain Ra! Lo yang
harusnya berhenti buat nyuruh gue ini-itu. Semua filsafat lo itu gak berguna
tau?! Selamanya gue bakal ngikutin kata hati gue, bukan kata hati lu!” Riska
memukul mejanya, kemudian berlari keluar cafe dan meninggalkan Ara sendirian.
Riska
terus berlari, menyusuri jalan setapak kota Perth di tengah musim semi.
Harusnya ia bahagia tahun ini, menikmati beasiswanya di Universitas Westrn
Australia. Beasiswa yang seharusnya menjadi pialanya, tapi bayangan Rafa seolah
merebutnya.
Riska
menangis diantara langkah kakinya. Daun
Maple yang berguguran seolah ikut menari ditengah air matanya. Harusnya tidak seperti ini, harusnya gue
bahagia. kebahagiaan gue harusnya ada
disini. Di Australi. Di Westrn. Rafa, please. Jangan ganggu hidup gue lagi.
Kalo lo mau pergi, pergi. Tapi jangan sesekali balik lagi. Lo itu semu, dan gak
akan pernah jadi nyata sampai kapanpun. Lo itu abu-abu, dan gak akan pernah
jadi pelangi yang warnaiin hidup gue. Pergi, Raf.... jangan taburin garam
diatas bekas luka paku yang udahpernah lu buat. peperangan itu kembali tercipta
dihatinya.
“Riska,
sampai kapan kamu gak lihat sekitar dan terus lihat aku?” suara Rafa tiba-tiba
bergeming, tapi Riska tak peduli. Ia terus berlari, tanpa suara, tanpa arah.
“Riska,
berhenti mencariku. Aku tau dulu kita bahagia, tapi itu waktu aku masih ada. Cari kebahagiaanmu
lagi Ris, bersama orang lain. Jangan siksa dirimu seperti ini terus dengan
bayanganku yang tak dapat kamu raih lagi.”
Riska
berhenti. Ia membalikkan badannya, dan menatap sosok Rafa dengan pilu. Sebuah senyum
kekecewaan tersungging dibibir mungilnya, “Kamu gak tau rasanya ditinggalin
Raf...”
“Aku
tau. Dan aku gak akan ngelakuin ini kalo bukan Tuhan yang nyuruh. Berhenti cari
kesempurnaan Ris. Berhenti salahin keadaan. Jadilah dewasa.”
“Inikah
yang namanya dewasa Raf? Ketika semuanya harus dibalas dengan air mata? Kamu
pergi waktu aku udah nyangka kalo Tuhan bakal nepatin janji-Nya buat ngasih
pelangi setelah hujan. Kamu pergi waktu aku udah naruh banyak harapan sama
kamu. Dan itu sakit Raf...”
Rafa
tersenyum, berjalan mendekati Riska, “Riska, Tuhan gak mungkin ngingkarin
janji-Nya. Ketika satu pintu tertutup, maka pintu lain akan terbuka. Namun
terkadang, kita terlalu lama menyesali pintu yang tertutup itu sehingga tidak
melihat pintu lain yang terbuka.”
“Kamu
bisa bilang kayak gitu karna kamu gak tau rasanya dikecewakan setelah kita
naruh harapan banyak kepada seseorang Raf. Yang kamu tau cuma, disaat orang
udah percaya sama kamu, kamu justru balikin badan kamu lalu pergi. Gak peduli
apa yang udah terjadi sebelumnya.”
“Riska....”
“Apa?!
Sandiwarakah selama ini Raf? Haruskah akhirnya kyk gini Raf?! Kenapa kamu
justru balik lagi waktu aku udah nemuin kebahagiaanku? Kalo kamu mau pergi,
yaudah sana! Tapi jangan pernah balik lagi waktu aku udah nemuin kebahagiaanku
tanpa kamu!”
“Gak
ada yang sandiwara! Aku gak pernah salahin apa yang udah terjadi sama kita
waktu itu. Aku bahagia waktu aku sama kamu. Kamu kira aku mau ninggalin kamu?!”
Rafa menunduk, ia bahkan tak mengerti mengapa ketika ia ingin memberikan warna
pada seseorang yang disayangnya ini, Tuhan justru mengganti skenario hidupnya.
“Aku
gak pernah datang ke kehidupanmu lagi, kok. Kamu yang mengundangku bukan? Kamu
sendiri yang menyeret dirimu kedalam bayanganku. Sampe kapan Ris? Kita udah
beda dunia, tapi kamu tetep maksa buat terus sama aku. Sampe kapan kayak gini?!
Aku bakal pergi asalkan kamu iziinin aku tenang disana Ris...”
Riska
menatapnya diiringi air mata yang semakin deras. Beberapa orang mengamati
mengapa Riska berbicara sendirian sambil menangis. Ara yang melihat sahabatnya
seperti itu dari kejauhan, hanya bisa terdiam dan membiarkan air matanya ikut
terjatuh.
“Tapi kenapa kamu pergi Rafa....
Gak cintakah kamu sama aku?”
“Aku
cinta kamu. Tapi, aku lebih cinta Tuhan. Tuhan yang mempertemukan kita Ris, Dia
juga yang berhak buat misahin kita.”
“Kenapa
harus kita?! Bukannya banyak orang diluar sana yang lebih pantas
mendapatkannya?”
“karena
Dia tau kalo kita kuat. Riska, cukup. Cari kebahagiaanmu lagi. disini, di
Australia. Di Perth. Ini mimpimu bukan? Tanpa aku, Tuhan pasti akan memberikan
pelangi itu Riska. Asal kau mau melihat dan mencarinya, bukan hanya menunggu. Berhentilah
mengeluh. Dan...oh ya. Jika Tuhan tidak memberikan pelangi itu, percayalah.
Akan aku minta yang lebih indah dari pelangi kepada-Nya.”
“Adakah
kebahagiaan itu tanpa kamu Raf?”
“Ada.
Tuhan sudah mempersiapkannya untukmu. Percayalah. Kamu berhak bahagia ada
ataupun gak adanya aku. Lepaskan aku Ris. Dan lihatlah nanti, kau bahkan akan
lebih bahagia dari yang kau kira. Sekarang, aku pergi dulu. Aku akan terus
menjagamu dari sana. Aku mencintaimu.” Rafa tersenyum, kemudian sosoknya
menghilang dari pandangan Riska.
Gadis
itu jatuh terduduk, kembali menangis. Kata-kata terakhir Rafa persis seperti
apa yang dikatakan Ara tadi. Ada atau tidaknya Rafa, dirinya berhak bahagia,
apapun alasannya.
Ara
memandang sahabatnya yang sedang tertidur pulas disebuah sofa panjang. Tadi
ketika melihat Riska terjatuh, ia segera membawa sahabatnya ke apartemen
mereka. Wajahnya lelah, tapi Ara tau akan ada keikhlasan dibaliknya. Ara tau,
cepat atau lambat kebahagiaan akan menjeput lagi sahabatnya ini. Ah,
kebahagiaan. Pilu sekali jika mendengarnya. Riska tak pernah lagi menemukannya
setelah Rafa pergi. Menerima panggilan Tuhan. Ya, dua tahun yang lalu, Rafa meninggal.
Kecelakaan menemaninya ketika ia ingin datang ke pesta manis tujuh belas
tahunnya Riska. Waktu itu tanggal 18, tepat saat Rafa dan Rifka sudah
mempersiapkan semuanya.
Ara
tersenyum getir. Ia ingat waktu itu Rafa bahkan sudah memesan kado khusus untuk
merayakan tanggal jadiannya. Sweeter putih dengan logo 18 kecil di kantongnya.
Ia ingat dulu Rafa selalu menemukan cara bagaimana agar hubungannya dengan
Riska baik-baik saja. Riska bisa tertawa, tersenyum, bahkan menangis bahagia
ketika bersama Rafa. Dulu. Bersama Rafa. Sekarang, Ara kehilangan sosok
sahabatnya yang ceria. Riska lebih sering murung, diam, dan menyendiri. Bahkan
tak jarang Ara melihat Riska bicara seorang diri. Bila ditanya, ia selalu
menjawab bahwa ada Rafa disana. Riska lebih suka menari bersama kenangan
daripada bernyanyi bersama sahabatnya. Riska yang dulunya mempunyai aura warna
orange, sekarang berubah menjadi abu. Tenang, tapi misterius.
“Raf...kapan
balik lagi? Pergi kok lama banget,” Riska mengigau, Ara melihatnya tapi ia
membiarkan sahabatnya itu. “Aku udah 2 tahun lho nunggu kamu balik. Belum
seberapa sih sama yang 5 tahun itu. Tapi gimana ya Raf? Walaupun sebentar,
kenangannya banyakan kamu. Kamu hebat! Hahahahaha” sekarang Riska tertawa dalam
alam bawah sadarnya, sedangkan Ara menangis. Tak tega melihat sahabatnya terus
seperti ini. Percayalah, ketika kau membohongi perasaanmu sendiri, itu lebih
sakit daripada yang kau kira.
“Hmmm
Raf,” Riska melanjutkan, “Apa ya yang aku rasain sekarang? Nangisin kamu aja
kyknya aku gak mampu. Mungkin cuma sisa kenangan terindah itu dan kesedihanku. Maaf.
Aku masih belum rela kamu pergi gitu aja. Tapi aku janji, seiring dengan
berjalannya waktu, aku bakal cari lagi kebahagiaanku. Tanpa kamu. Kamu yang
tenang ya disana.” Riska menangis. Ia selalu seperti ini, setelah tertawa,
pasti menangis. Makanya, ia selalu beranggapan bahwa kebahagiaan takkan betah
jika hidup bersama dirinya.
Beberapa tahun sebelumnya...
“Ra,
kata lo sweeternya bagus gak?” Rafa menunjukkan sweeter yang baru saja ia pesan
kepada Ara.
Yang
dipanggil hanya menoleh sekilas, “Bagus Raf. Lo pesen dimana?”
“Di
kak Jamil. Kakak kelas gue waktu SMP. Desainnya gue yang buat loh,”
Ara
bergumam, “Lo mau nembak dia nanti malem?”
“Iyalah,
udah lama banget lagian kan kita deketnya. Kalo gak gue tembak sekarang ntar
dia keburu pergi lagi.”
“Oh.
Bagus deh, akhirnya Riska dapet kepastian juga dari lo.” Ara tertawa, ikut
merasakan kebahagiaan yang akan dirasakan Riska nanti. Sudah lama memang
Rafa-Riska dekat., tapi sampai sekarang belum ada status yang jelas untuk
mereka.
“Hahahahaha.
Iyalah Ra, gak mungkin gue terus-terusan ngasih harapan tapi gak ngasih
kepastian buat dia. Tapi Ra, pas banget ya? Nama gue sama dia kan dari R terus
sekarang tanggal 18 pula. R itu huruf ke 18 kan? Mana sekarang Riska ngerayain
hari bahagianya lagi.” Rafa tersenyum, ia bahkan baru sadar kalau semuanya
seolah bersambung. Semoga ini awal yang baik untuk menjalani hidupnya bersama
Riska.
Ara
diam sejenak, kemudian ia tertawa,“Yayaya. Yaudah, gue pulang dulu ya. Mau ke
salon sama Riska. Good luck buat ntar malem. Gue tunggu pajaknya ya,” Ara
kemudian berjalan keluar menuju teras rumah Rafa.
“Siaaaaap!!! Thanks ya Ra.”
Itu
yang terakhir. Malamnya, Ara mendapat telfon bahwa Rafa kecelakaan saat di
perjalanan menuju rumah Riska. Motornya ditabrak mobil truk pengangkut barang.
Rafa terseret dan mengalami pendarahan besar. Dokter sudah berusaha untuk
mendapatkan darah yang sama dengannya dan melakukan pertolongan sebaik mungkin.
Tapi, apa daya umur Rafa memang hanya 19 tahun.
Pesta Riska malam itu memang
tetap berjalan, tapi dengan pandangan kosong Riska. Ia shock sampai tak bisa
berbuat apa-apa. Ia hanya duduk dan sesekali tersenyum pada semua temannya. Ara
tau, Riska berusaha untuk tegar, namun tatapannya yang kosong tak dapat
memanipulasi Ara.
“Ra...”
Riska membuka matanya. Ia tak ingat sudah berapa lama ia tertidur.
“Ya?”
“Tadi
gue ketemu Rafa.” Riska menghela nafasnya, tetapi kemudian ia tersenyum.
“Maafin gue Ra, harusnya gue sadar selama ini omongan lu bener. Gue gak boleh
terus-terusan liat Rafa yang udah milih jalannya sendiri. Gimanapun juga, dia
masa lalu gue.”
Ara
terenyuh, ia bahkan nyaris meneteskan air matanya kembali. “Ris,” ia mengelus
pundak sahabatnya itu, “Gue tau setiap orang berhak atas masa lalunya. Tapi
bukan berarti masa lalu terus dibandingin sama masa kini, Ris.”
“Iya.
Makasih ya Ra. Sekarang gue sadar, selama ini gue belum dapetin kebahagiaan gue
karena gue belum ngerelain Rafa sepenuhnya. Bukannya kalau kita ngerelain sepenuhnya,
kita bakal dapet yang lebih baik? Lagian, gak ada ruginya juga kan ngelepasin
yang baik demi yang terbaik?”
Ara
tak menjawab, ia hanya tersenyum. Kemudian memeluk sahabatnya itu. Tuhan, tolong ini pelukan yang memberikan
tanda bahwa Riska akan menemukan kebahagiaannya lagi. Tuhan, beri kekuatan agar
ia dapat mengikhlaskan masa lalunya. Dan beri yang terbaik atas perjuangannya.
Tuhan, aku hanya ingin melihat sahabatku bahagia dengan jalannya sendiri. Tanpa
bayang masa lalunya yang tak dapat ia genggam lagi. Tuhan, untuk yang terakhir.
Terima kasih, karena Kau telah mempertemukan kami untuk saling menguatkan satu
sama lain. Tuhan, aku sayang Riska. Jaga dia Tuhan. Damaikan hatinya. Dan
selamatkan hidupnya. Amin.
Juli, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar