Hujan
tak juga reda. Di sampingnya, jendela membiarkan setiap buliran air yang jatuh ke
tubuhnya begitu saja. Sesekali –dari balik jendela, ku dengar mereka berdebat.
Mencoba menyatukan pendapat.
“sejak
kapan cinta ada?” tanya hujan, mengeraskan suaranya.
“sejak
jejakmu hinggap pada setiap harap di mataku.”
Hujan
tertawa. “klise. Sudah terlalu biasa aku mendengar alasan itu. Lagipula,
bukankah setelah aku tiada, senja akan datang memberikan jingganya?”
“tapi
jejakmu tetap berada di sana. Membekas, tak terlepas.” Sahut jendela, ia mengusap
titik-titik air yang sekarang sudah membasahi seluruh tubuhnya, memberikan
sedikitruang –kemudian dirinya menghela nafas,“karena
cinta adalah cahaya yang membuatmu ada.” Lanjutnya. Tersenyum.
Kemudian hujan hilang, sejenak
setelah senja datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar