SUSU COKLAT
Untuk: Keluarga Cikarang
Malam
semakin larut. Udara dingin kian membalut seorang gadis yang sedang berlutut di
hadapan tugas-tugas yang menumpuk. Sesekali, gadis itu menarik nafas berat
–mencoba berdamai dengan tugasnya sendiri, namun hasilnya selalu nihil.
Tugas-tugas itu terus merayunya untuk tak meninggalkan mereka sampai tuntas.
Jadi, gadis itu tak mencoba lagi tuk memberontak.
Sudah
pukul 22:00 hingga akhirnya gadis itu berdiri dari tempat duduknya, beranjak
menuju dapur. Untuk menemani tugas-tugasnya, ia menyeduh secangkir susu coklat
hangat. Dengan perlahan, gadis itu mengaduknya. Sampai ia berhenti ketika susu
sudah bersatu dengan air.
Gadis
itu diam saja disana. Tak melakukan apa-apa. Hanya membiarkan air matanya
terjatuh perlahan-lahan. Pandangannya mengarah pada susu coklat yang baru saja
ia seduh.
“Aku
kangen kalian,”ucap gadis itu. Lirih dan pelan sekali.
***
“Bunda, susuku mana?” teriak salah seorang
anak laki-laki dari kamarnya.
“Sudah Bunda taruh di kulkas. Ambil
sendiri.” bundanya menjawab.
“Bude, Revan masih minum susu?” anak
perempuan yang duduk di sebelah Bunda, ikut nimbrung.
Bunda tersenyum, “Ya. Susu coklat
dingin. Setiap mau tidur harus minum itu dulu.”
"Kalau aku gak suka susu,”
“Heh. Mau gak? Nih, cobain.” Anak
laki-laki itu tiba-tiba menyodorkan gelasnya. Agak ogah-ogahan, namun ia
bermaksud baik.
Anak perempuan itu menggeleng.
"Ini enak. Cobain dululah,”
Anak perempuan itu agak ragu,
sebelum akhirnya ia mengambil gelas yang di pegang saudaranya, “enak.” Sambungnya.
“Apa ku bilang.” Sahut anak
laki-laki itu bangga, dan segera menghabiskan sisa susunya.
“Bude, aku juga mau. Boleh di
bikinin gak?” anak perempuan itu merajuk.
Bunda mengangguk.
***
Gadis
itu masih berdiri disana. Dengan keheningan yang semakin merengkuh air matanya.
***
Suasana haru menyelimuti kediaman anak
laki-laki itu. Sepanjang perjalanan pulang dari pemakaman, anak laki-laki itu
terus berdiam diri. Menatap ke depan; padahal tak ada yang di lihatnya. Matanya
kosong, hampa, dan penuh rasa kehilangan. Sang anak perempuan duduk
disampingnya tanpa mengeluarkan suara apapun.
"Aku gak nyangka Ayah pergi secepat
ini,” tiba-tiba anak laki-laki itu bicara.
Anak perempuan bergeming. Tak
menyahut, karena ia tahu saudaranya ini akan melanjutkan kata-katanya.
“Aku kira kita bisa lebaran bareng
tahun ini. Padahal kemarin Ayah sudah sembuh,” anak laki-laki itu hampir
menangis lagi, jika ia tak cepat-cepat menarik nafasnya dan menghapus air
matanya.
"Aku juga, Van. Kita gak pernah tahu
apa jalan Tuhan. Mungkin ini yang terbaik,” sahut anak perempuan itu. Lirih dan
pelan sekali.
“Aku gak nyangka kamu sebijak ini,
Nad.”
Anak perempuan itu menoleh ke
saudaranya. Yang dilihat hanya tersenyum jahil.
"Mungkin kita sudah harus belajar
mengikhlaskan kepergian seseorang.” Sambung anak perempuan. Tak menggubris
ejekan saudaranya.
“Ya. Gimana kalau sekarang susu
coklat?” tawar anak laki-laki itu.
“Boleh,”
***
“Van, kamu mau pindah?” tanya anak perempuan
ketika mereka sedang mengayuh sepeda menuju mini market di seberang jalan sana.
Anak laki-laki itu mengangguk, “ke
Brebes. Tinggal sama saudara dari Bunda.”
“Terus nanti aku liburan kemana?
Dari Bogor ke Brebes itu jauh,”
"Kalau lebaran juga kita ketemu,”
anak laki-laki itu menjawab santai.
"Terus ritual susu coklat kita?”
"Nanti kalau di Eyang kita lanjutin,
Nad.”
“Kelamaan,”
“Mungkin sekarang kamu harus belajar
mengikhlaskan kepergian seseorang,” anak laki-laki itu menjawab. Pelan dan
lirih sekali.
***
Air
mata semakin asyik menari di pipi gadis itu. Sudah pukul 22:30, waktu yang
cukup lama untuknya berdiri dan menangis sendiri. Ia segera kembali ke kamar,
mengambil handphonenya, dan segera memencet nomor seseorang. Ia melirik
tugasnya, membiarkan mereka berteriak agar di sentuh.
Terdengar
nada sambung yang cukup lama. Mungkin seseorang disana sudah terlelap. Tapi
gadis itu tak peduli, ia terus menunggu sampai panggilannya terjawab.
“Halo?”
kata seseorang diseberang sana.
Butuh
sepersekian detik untuk gadis itu menarik nafas; memberanikan diri untuk
menjawab, “Hai, Van. Sudah tidur?”
“Tadinya.
Ini siapa?” jawab seseorang itu. Ogah-ogahan.
“Nada.
Sorry ganggu,”
“Nad!
Ada apa malem-malem? Tumben nih.” kini, suara di seberang sana terdengar
antusias.
“Gak
ada apa-apa sih. Gimana di Brebes?”
“Gak
gimana-gimana. Sama aja kok kayak di Cikarang. Tapi kadang gue kangen Cikarang,”
“Gimana
dengan susu coklat?” tanya gadis itu langsung.
“Gue
udah gak minum susu, Nad. Lo kenapa sih?”
“Kalau
gue lagi minum susu coklat. Sesekali sih. Makanya gue telpon lo,”
Terdengar
helaan nafas dari seberang sana, “Gue gak nyangka lo semelankolis ini, Nad.”
“Berhenti
ngejek gue, Van.”
Kemudian
terdengar suara terbahak-bahak, “Sorry. Gue juga kangen ritual susu coklat
kita. Atau pergi ke mini market sama-sama buat beli kopi gelas. Atau beli
gorengan dan orson di depan gang,” suara seseorang itu terdengar lirih.
Dirasakannya
air mata kembali menari pada pipi gadis itu. Kenangan bersama saudaranya dulu
terpaksa diputar dalam kaset memori otaknya.
“Nad,
gue gak kenapa-napa kok disini. Gue baik-baik aja,”
“Tapi
gue kangen Cikarang, Van.” Jawab gadis itu sambil terisak.
“Gue
juga. Udahlah, dulu kita udah belajar banyak tentang mengikhlaskan seseorang.
Sekarang waktunya belajar buat nerima kenyataan, Nad.”
“Gak
semudah itu,”
“Gue
belum mati, Nad. Kita masih bisa ketemu nanti lebaran. Oke? Udah jangan
nangis,”
Gadis
itu mengangguk, menghapus air matanya. “Thanks, Van. Setidaknya kangen gue
terobati,”
“Nah
gitu dong. Yap sama-sama,tapi gue boleh minta satu hal?”
“Silahkan,”
“Berhenti
buat melankolis ya, Nad.”
“Sialan!!!”
gadis itu kini berteriak, tapi kemudian ia tertawa. “Okelah. Bye, Van. Sampai
ketemu di rumah Eyang!”
“Bye,
Nad.”
Telpon
ditutup. Gadis itu kembali menuju meja belajar. Di temani susu coklat yang kini
sudah dingin, gadis itu kembali berlutut di depan tugas-tugasnya yang menumpuk.
10-03-2013
22:37
dibuat saat mengerjakan tugas; kemudian rindu datang menyergap. Untuk: keluarga tercinta di Cikarang. Alm. Pakde Didi, Bude Ami, Kak Dimas, Revan, dan Ayang. Salam rindu selalu!:')
aku suka banget baca artikel yang di tulis sama nada meita. Tulisannya original, bukan copy paste. Benar benar membutuhkan kreatifitas serta imajinasi yang baik untuk dapat membuat alur cerita dalam sebuah karangan fiksi. Seperti halnya saat aku membuat sebuah jas pria . Suatu saat nanti bila ada kesempatan tentunya aku pengin sekali belajar dari nenk nada meita, bagaimana cara memunculkan ide ide segar yang tertuang dalam sebuah artikel fiksi yang apik nan menghanyutkan.
BalasHapusWah terima kasih ya:-) saya juga masih dalam tahap belajar kok.
BalasHapusblazer pria kalo boleh ngomong Kamu bakat, dan bakat itu sebuah anugrah yang harus terus diasah agar bisa memberikan faedah yang baik. Tidak banyak anak seusiamu yang sudah begitu pandainya menulis menggunakan kata kata kiasan dan memberikan sentuhan yang dapat memacu emosi jiwa. Tulisan diatas sebagai contohnya, menceritakan sebuah kehilangan yang teramat sangat atas meninggalnya seorang ayah dari bocah bocah kecil yang masih haus kasih sayang ayahnya. Diceritakan dari sudut pandang yang mungkin diluar konteks kata meninggal... Ya dengan SUSU COKELAT kamu bisa membuat cerita ini hidup, memang dilatar belakangi suasana duka namun dengan membaca artikel ini secara keseluruhan ada sedikit tawa yang muncul. Sederhana saja membayangkan anak anak kecil yang membicarakan susu cokelat.
HapusJangan heran kenapa aku sampai mengomentari artikel diatas hingga 2-3 kali,,, jujur akupun merasa kehilangan yang teramat sangat. Masih tersirat di ingatanku saat aku kuliah pernah sekali menelpon beliau,,, adan di telpon tersebut aku bilang,,,, " om, aku mau minta uang, uang saku habis "........ dalam beberapa menit setelah aku telpon, uang 100.000 sudah tertransfer ke ATM ku,, mungkin hampir tidak ada yang tau tentang kejadian waktu itu,, termasuk mama dan papaku juga tidak tau.... hehehehehehehehehehee
BalasHapus