5 KEKUATAN DARI TUHAN
:deret kata untuk seseorang di Libanon:
5 hari sebelum
natal....
Salju semakin menyapa hangat
beberapa belahan dunia. Membuat semangat matahari harus segera mengalah pada
butiran-butiran kapas dari langit. Sementara kalender di meja belajar Letisha
terus tersenyum sepanjang hari –tak sabar ingin menyambut natal yang sudah ada
di depan mata, Letisha hanya menyoret deret angkanya dengan spidol merah tanpa
gairah. Semakin dekat pada tanggal 25 Desember, Letisha, semangatnya semakin
menguap.
Ada yang hilang. Mungkin hanya 3
deret kata itu yang membuat semangat Letisha menjadi tak sama. Biasanya
seminggu sebelum hari Natal ia bahkan sudah akrab dengan pohon cemara. Menghias
setiap dahannya menjadi cantik. Menaruh bintang pada puncak tertingginya. Atau
apapun –yang membuat Letisha semangat menyambut natal.
DUAAAAR!!! DUAAAARR!!
Suara itu lagi. Tanpa pikir panjang,
Letisha segera meringkuk di bawah meja. Menutup telinga dan matanya kuat-kuat,
menahan segala gemuruh yang di bawa oleh angin lewat deru tembakan. Ia sudah
terbiasa seperti ini, setidaknya beberapa bulan terakhir semenjak Israel memutuskan
mengadakan perang saudara dengan Libanon, tempat kelahirannya.
Letisha menghela nafas berat, suara
menyeramkan itu sudah tak terdengar. Lantas ia keluar dari bawah meja, menatap
langit-langit kamar, mengirimkan doa pada Tuhan.
Tuhan, aku
hanya ingin diberi kekuatan menjelang natal. Walaupun hanya untuk pura-pura tak
mendengar deru tembakan yang julangnya sampai ke awan.
Kemudian Letisha memejamkan matanya.
4 hari sebelum
natal...
Letisha bangun pagi-pagi sekali hari
ini. Sesaat setelah membuka mata, Letisha berjalan ke arah jendela kamarnya,
membukanya perlahan, dan menghirup sisa udara segar yang masih disediakan alam
untuknya. Matanya memejam –terfikir kapan terakhir kali ia mendengar ayam
berkokok untuk menyapa pagi. Atau burung yang bernyanyi bersama embun diujung
dahan sana. Sekarang semuanya tak lagi sama.
Terlalu banyak kenangan pahit yang
menghampiri hidup Letisha di Libanon akhir-akhir ini. Ia bahkan tak ingat kapan
burung diujung dahan sana bernyanyi pada pagi. Sekarang yang Letisha dengar
hanya deru tembakan, suara teriakan orang-orang, dan berita kematian. Semuanya
terus seperti itu. Tak berhenti berputar seperti waktu.
“Ayah belum pulang, Bu?” tanya
Letisha sambil meneguk susu kotaknya.
Ibu hanya diam saja dengan pandangan
kosong. Ada rasa yang tertahan dibalik nanar matanya. Ada kata yang tak terucap
dibalik bibirnya.
“Bu...” Letisha lantas mendekati
ibunya. Memegang perlahan bahu beliau.
Ibu menatap Letisha, kemudian
memeluknya. Beliau sesenggukan diatas tubuh putrinya. Belum ada satu kata pun
yang keluar. Letisha terus menunggu.
Lama, Ibu berhenti menangis. Sambil
masih menatap nanar kepada Letisha, beliau berkata pelan, “Ayahmu gugur, Nak.”
Hanya itu. Letisha tak perlu
penjelasan apa-apa lagi setelahnya. Ia tau saat ini akan tiba. Ayahnya
–seseorang yang bukan dari anggota perang, melepaskan dirinya untuk menjadi relawan
beberapa bulan lalu. Ibu dan Letisha sempat tak setuju, tapi beliau tetap
bersikukuh untuk menjalaninya. Membela negara, katanya.
Dan Letisha tak pernah menyangka
saat itu benar-benar terjadi.
Ayahnya gugur saat keluar dari
tempat persembunyiaannya. Mencoba bermaksud melawan Israel, namun takdir
membawanya pada arah lain.
Seekor kupu-kupu putih hinggap pada tangan Letisha. Membuatnya
tersadar dai lamunan dan segera menyeka air mata yang sejak tadi menari di
pipinya. Ia merindukan ayah. Sosok yang selalu mendekapnya saat deru tembakan
itu terdengar. Sosok yang ada disampingnya saat ia merasa takut. Sosok yang
percaya bahwa Letisha akan menggapai bintangnya seperti bintang di atas pohon
natal.
Letisha merindukan Ayah.
“Letisha, apakah kau sudah bangun?”
Ibu mengetuk pintu kamar dengan pelan.
Tanpa menjawab, Letisha segera
beranjak dari tempatnya mengulang masa lalu tadi. Ia membukakan pintu untuk
ibunya, “Selamat pagi, Bu.” Ucap Letisha sambil tersenyum dan mencium Ibu.
“Pagi. Bagus jika kau sudah bangun. Ayo
turun kebawah, bantu ibu membuat kue.”
Letisha mengangguk dan mengikuti Ibu.
Saat menjelang natal, keluarga Letisha selalu membuat kue jahe. Kue berbentuk
boneka manusia yang terbuat dari adonan terigu dan sedikit jahe ini adalah
kesukaan turun-temurun keluarganya. Kue ini seakan menjadi santapan wajib untuk
lebih menghangatkan suasana natal.
Letisha segera mengambil bahan-bahan
yang diperlukan ibu untuk membuat kue jahenya. Sedang ibu terus mengocok adonan
dengan telaten, Letisha memandangnya sejenak. Masih ada rindu pada nanar mata Ibu.
Mungkin beliau masih belum terbiasa menjalankan hari-harinya tanpa ayah. Dulu,
selama menjelang natal ayah selalu meliburkan diri dari kantor hanya untuk
mempunyai waktu lebih lama dengan keluarganya. Ayah selalu membantu ibu dan
Letisha untuk membuat kue jahe bersama-sama. Ayah selalu menghias pohon natal.
Ayah selalu ada saat natal sebelum natal tahun ini menjelang.
“Sha, tolong tambahkan jahenya
lagi,” ibu kembali menyadarkan lamunan Letisha.
Ia segera memenuhi permintaan ibunya.
Kemudian berkata lirih, “ini tahun pertama ayah gak buat kue bareng kita bu.”
Ibu menghentikan gerakannya. Menatap
Letisha. Ia tahu, seorang anak pasti merindukan saat indah bersama ayahnya.
Namun Ibu tak dapat berbuat apa-apa, selain mendekap erat putrinya. “sudahlah,
Nak. Jangan terus mengungkit jika kau tak ingin terus merasa kehilangan.
Ikhlaskan. Biarkan ayahmu bahagia dengan jalan yang telah mengantarkannya
kembali pada Tuhan.”
Letisha tak menggubris ucapan
ibunya. Walaupun dalam hati ia harus membenarkan kata-kata beliau. Tapi ia merindukan
Ayah. Jadi ia hanya merangkai sebuah doa dalam dekapan ibundanya.
Tuhan, aku ingin kuat seperti
Ibu. Yang tidak memperlihatkan rasa kehilangannya. Beri aku kekuatan itu,
Tuhan. Meski lewat airmata yang sesekali membasahi wajah saat aku rindu Ayah.
Letisha terus mendekap ibunya. Lebih erat.
haiiii.... artikelnya keren juga,,,,, good job sayyyyy....
BalasHapusmakasih mas:3 sukses juga buat pulau batiknya!!!!
BalasHapus