NADA MEITA N
Karena dengan menulis, kamu dapat menggapai mimpimu secara gratis!
Minggu, 26 April 2015
(Jangan) di Bawa Perasaan
Jadi kalian apa kabar? Gue baik, walaupun gak ada yang tanya. Alasan gue nulis kangen di blog gue ini karena kalau gue nulis di timeline pun rasanya percuma. Nulis di grup sosial media apalagi, ketika ketemu cuma jadi wacana. Waktu nulis di blog, gue ngerasa kalian dengar semua cerita gue, tanpa harus ada wacana-wacana buat ketemu. Terserah tanggapan kalian apa, yang jelas gue lagi baper-bapernya malam ini.
Quote-quote yang bilang “masa SMA itu emang masa yang paling indah,” (atau semacamnya) gue pikir cuma omong kosong orang-orang. Tapi waktu udah ngerasain kayak begini, gue ngerti kenapa mereka bilang begitu. Baru kerasanya ya sekarang waktu udah kuliah. Dulu pas SMA, gue selalu pulang bareng sama teman-teman gue, kalau gak ada bimbel ya hangout sebelum balik ke rumah. Waktu SMA juga gue debat sana-sini soal reaksi kimia, kenapa harus ada hukum fisika, kenapa gue belajar program linier padahal gue anak IPA. Waktu SMA juga gue makan bekel sama-sama, gosip kalau gak ada guru, bikin rencana liburan nanti. Waktu SMA semuanya kerasa gampang aja gitu, asal ada waktu dan teman-teman lo, lo gak akan baper.
Lah sekarang situasinya gimana? Boro-boro mau pulang bareng, hangout bareng yang kadang direncanain dari dua minggu sebelumnya aja suka gagal. Alasannya juga banyak: ngerjain tugas, kumpul organisasi, kerja sambilan, gak ada uang, SAMPAI BINGUNG MAU KEMANA DAN AKHIRNYA GAK JADI KETEMU. Gue sedih, tapi gak bisa nolak karena kenyataannya ya udah begitu.
Emang sih ada teknologi ngobrol yang biikin lo gak terhalang sama jarak, tapi percaya deh, waktu lu ngerasa yang lu butuh CUMA KETEMU SAMA TEMAN-TEMAN LO, teknologi berasa gak ada artinya. Karena lo butuh obrolan yang nyata, bukan grup yang ramai doang. Lo butuh ketawa yang didengar semua pengunjung tempat makan ketika salah satu teman lo ngelawak. Lo juga butuh bahu buat nampung semua air mata lo. Ada saatnya ketika yang lo butuhkan bukan sekadar teknologi yang dapat menghancurkan jarak.
Gue harap sehabis lo baca tulisan ini, lo ikutan baper. Kalau belum baper dan bilang gue lebay, coba lo bayangin pas ketawa bareng temen-temen lo di koridor kelas 12, pas bikin film pas kelas 11, pas mos di kelas 10. Lo juga bayangin ketika ada pengumuman di speaker kalau kita libur bimbel, lo langsung lari ke kelas teman lo, ajak mereka hangout, dan mereka mengiyakan. Bayangin juga kalau sekarang semuanya udah sama-sama sibuk, sama-sama gak tau mana yang harus didahulukan.
Karena ada saatnya ketika yang lo butuhkan bukan sekadar teknologi yang dapat menghancurkan jarak –tetapi juga anggukan yang meluluhkan wacana pertemuan.
Bogor, 26 April 2015
Nada Meita Nursiswati
Selasa, 10 September 2013
LATTE
Kamis, 25 Juli 2013
Alasan
Selasa, 04 Juni 2013
HARAPAN UNTUK KENYATAAN-KENYATAAN
(benarkah) INI CINTA
SEMU
Selasa, 14 Mei 2013
Kita berbeda:')
Saya sedang menari dengan soal matematika ketika kamu datang dengan menggebu-gebu. Terdapat sebuah amplop di tanganmu, dengan mata yang tak sempat saya baca apa artinya, kamu memeluk saya.
"Gue menang!!! Ini surat dari panitia. Dan gue berhak ikut ke babak selanjutnya!!!" katamu sambil memeluk saya begitu dekap sehingga sulit sekali rasanya untuk saya bernafas.
"Lepasin gue dulu!" saya memohon. Kalau tidak, saya akan mati sekarang juga.
Kemudian kamu melepaskan pelukan, "selamat ya. Lo emang pantes dapetin semuanya," lanjut saya. Kamu mengangguk sambil terus tersenyum, memancarkan aura bahagia yang -tanpa pernah kamu tahu- membuat saya terluka.
"Makasiiiiih untuk semua semangatnya, Sya." sahutmu.
Saya mengangguk dan duduk: kembali mengerjakan soal matematika.
Tak ada pembicaraan lebih lanjut setelah itu, kamu hanya duduk di hadapan saya sambil membaca sebuah majalah sastra. Sampai keheningan sudah terlalu lama membekap kita, kamu bicara: "Olimpiade kemarin gimana?"
Saya mendongak. Menatap lurus ke arahmu. Sebenarnya, saya tak ingin membahas; jika bukan kamu yang menyuruh.
"Belum menang," suara saya terdengar parau.
Kamu terlihat bersalah; saya melihatnya dari matamu. Tapi kemudian kamu tersenyum, "semangat terus!" katamu sambil mengepalkan tangan di udara.
Saya lagi-lagi hanya mengangguk. Jika kamu mendengar hati saya, mungkin lebih baik jika tadi kamu tidak menceritakan kebahagiaanmu itu. Bukan, bukan berarti saya tidak ikut bahagia -saya hanya belum menerima mengapa kemenangan seperti enggan untuk menghampiri hidup saya. Walaupun hanya sebentar.
Katanya, Tuhan selalu menyelipkan kelebihan pada setiap insan. Tapi mana bagian saya? Saya tidak pernah menemukan kelebihan saya pada bidang apapun. Saya tidak pernah membuat orang-orang bahagia dengan kelebihan yang saya miliki. Saya tidak pernah seperti kamu: sahabat saya yang selalu di naungi kemenangan.
Saya hampir menangis jika saja saya bukan wanita. Wanita selalu menyembunyikan air matanya bukan?
"Gue traktir yuk. Lo mau kemana?" tiba-tiba kamu menutup semua buku saya; seperti bisa membaca apa yang sedang saya pikirkan.
"Gak usah. Keperluan lo masih banyak," saya menolak halus dengan kembali membuka buku.
"Ah traktir lo gak akan buat gue bangkrut. Hitung-hitung bayar semangat yang selalu lo kasih cuma-cuma itu. Oke? Yuk!" tanpa meminta persetujuan saya kali ini, kamu segera memasukkan semua buku saya ke dalam tas, dan menggendongnya di punggungmu. Dalam hati saya mengumpat, mengapa punya sahabat yang hatinya keras seperti batu. Tapi, saya selalu selipkan kebahagiaan di balik umpatan.
Sambil terus bergandengan erat, saya tersenyum. Sadar bahwa setidaknya meskipun Tuhan belum menunjukkan kelebihan saya, saya punya kamu sebagai penutup kekurangan saya. Terima kasih.
3 Mei 2012 - 21:02